Tanggung Jawab Istri dan Suami


Oleh : Huna Nurul Aeni
Rayon Walisongo Semester I

Terhanyut aku dalam  sebuah lamunan di depan rumah. Terbayang tentang sepasang suami istri didepan rumahku yang baru saja menikah seminggu lalu. Suaminya bekerja sebagai pegawai bank dan istrinya sebagai guru di salah satu madrasah aliyah di kota ku. Sebelumnya, mereka menjalin asmara pada saat duduk dibangku perkuliahan, kalau trend zaman sekarang biasa disebut pacaran. Mereka berjanji untuk saling menyayangi dan bertanggung jawab atas komitmen mereka berdua.

Akhirnya, kini mereka pun berakad dalam satu pelaminan. Status mereka pun berganti menjadi sepasang suami istri. 

“Kelihatannya hubungan mereka sampai sekarang tetap harmonis. Indah banget ya rumah tangga mereka bisa sakinah, mawaddah, warohmah.” 

***
Beberapa menit kemudian

Aku melihat mereka berdua menenteng sapu dan pel-pelan lantai di depan teras rumahnya. 

“Duh! Makin romantis aja yang istri nyapu yang suami ngepel,” Celetukku dalam hati.

“Kalo dipikir-pikir enak juga ya jika pekerjaan rumah dilakukan bersama-sama.” 

Ada perbincangan yang membuat aku semakin kagum. Sembari menyapu dan mengepel mereka membicarakan tentang keinginannya untuk mempunyai anak.  Yang istri ingin anak laki-laki tapi suaminya pengin anak perempuan.  

Istri : “Kalo anak pertama itu laki-laki bisa menjadi tulang punggung keluarga seperti halnya menjaga adik-adiknya kelak.” Ujarnya sambil menyenderkan sapu disudut teras. 

Suami : “Memangnya anak perempuan tidak bisa melakukan hal yang sama dengan laki-laki?” Tanyanya sambil mengepel. 

Istri : “Bukannya gak bisa, akan tetapi laki-laki lebih optimal untuk menjaga.” tegasnya sambil duduk diujung teras.

Suami : "Kita itu mau punya anak pertama laki-laki cuman sebagai penjaga untuk anak-anak kita selanjutnya?"

Istri : "Ya nggak gitu, kan kita masing-masing punya karir, otomatis kalo gak ada kita tanggung jawab dialihkan ke anak pertama."

Suami : “Kalo itu bukan tanggung jawab anak, tapi tanggung jawab kita sebagai orang tuanya. Gini aja deh kita mau punya anak perempuan atau laki-laki dan berapa banyak anak yang penting sehat. Intinya sama saja karna itu adalah tanggung jawab kita.”

Istri : "Baik deh kamu memang suami idaman.” dengan ekspresi bangga dan senyumannya yang manis."

***
Beberapa bulan kemudian

Kini sang istri hamil. Pada saat hamil suaminya sangat memanjakan dia. Pekerjaan rumah yang biasa mereka lakukan bersama kini sepenuhnya diambil alih oleh sang suami. Karna suaminya sadar bahwa menjadi ibu hamil itu tidak mudah dan sangat sensitif terhadap perkembangan anak yang dikandungan. Sang suami memang sangat menginginkan anaknya bisa lahir dalam keadaan sehat.

***
Sembilan bulan kemudian

Ada kabar istrinya melahirkan kemaren sore. 

“Pantas saja sang suami kelihatan sibuk bolak-balik dari rumah ke rumah sakit.”

Pada saat ini mereka mempunyai momongan anak pertama dan tidak disangka anaknya berjenis kelamin perempuan. Pekerjaan mereka kini tidak hanya sebagai pegawai bank dan guru, mereka mempunyai tugas ganda untuk sama-sama merawat anak. 

Dari kisah mereka berdua aku mendapat banyak pelajaran bahwasannya, komitmen dalam membangun rumah tangga tidak hanya sebatas ungkapan cinta, tetapi juga harus dibuktikan dalam bentuk nyata. Seperti mereka, saling menghargai dan kompak menyelesaikan pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama adalah contoh yang romantis. Mereka telah mengubah problem -beban ganda- yang selama ini terjadi pada perempuan, dimana perempuan harus melakukan pekerjaan rumah disamping mengejar karirnya sebagai pekerja, mereka justru menunjukan bahwa pekerjaan rumah bisa dilakukan bersama-sama sehingga tidak terjadi lagi kasus beban ganda.

*Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi

Posting Komentar

1 Komentar