• May 3, 2025

Analisis Sosial (ANSOS) PMII*


OOleh: Muhlison, M.Pd.I


A.     Paradigma-paradigma Sosiologi


Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi.Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979).Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial.Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.

Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci paradigma.Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial.Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, Srukturalis Radikal, Interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda. 

Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir sese-orang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.

1.      Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia.Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan.Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis.Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik).Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis.Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial.Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga.Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead.Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan  sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.

2.      Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis.Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka ber¬usaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial.Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.


3.      Paradigma Humanis Radikal 
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan.Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi.Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

4.  Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan.Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.

Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting.Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata.Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh.Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial.Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.

Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber.Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal.Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

B.     Langkah Praxis Analisis Sosial

v  Apakah Analisa Sosial Itu?
Suatu proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis. Sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi.Suatu analisis pada dasarnya "mirip" dengan sebuah "penelitian akademis" yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam proses ini yang dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka, melainkan berusaha membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian, dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan pengaruh kepada kejadian tersebut. Lebih dari itu, analisis sosial, seyogyanya mampu memberikan prediksi ke depankemungkinan apa yang terjadi.

Analisa sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan dibalik sebuah fenomena sosial.Analisa sosial bukan semata deskripsi sosiologis dari sebuah fenomena sosial.Analisa sosial hendak menangkap logika struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial.Analisa sosial dengan demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik.Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material.Kekuatan dan gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.

v  Wilayah Analisa Sosial
1.      Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat.
2. Dimensi-dimensi obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial, pola perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat).
3. Dimensi-dimensi subyektif masyarakat (ideologi, nalar, kesadaran, logika berpikir, nilai, norma, yang hidup di masyarakat).

v  Batas Analisa Sosial
1. Analisa sosial bukanlah kegiatan monopoli intelektual, akademisi, atau peneliti. Siapapun dapat melakukan analisa sosial.
2. Analisa sosial  tidaklah bebas nilai.
3. Analisa sosial memungkinkan kita bergulat dengan asumsi-asumsi kita, mengkritik, dan menghasilkan pandangan-pandangan baru.

v  Siapa Pelaku Analisa Sosial?
Semua pihak atau pelaku sosial yang menghendaki untuk mendekati dan terlibat langsung dengan realitas sosial.Bicara tentang analisis sosial, pada umumnya selalu dikaitkan dengan dunia akademik, kaum cendikiawan, ilmuwan atau kalangan terpelajar lainnya.Ada kesan yang sangat kuat bahwa anaIisis sosial hanya milik "mereka".Masyarakat awam tidak punya hak untuk melakukannya.Bahkan kalau melakukan, maka disediakan mekanisme sedemikian rupa, sehingga hasil analisis awam itu dimentahkan.

Pemahaman yang demikian, bukan saja keliru, melainkan mengandung maksud-maksud tertentu yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan.Pengembangan analisis sosial di sini, justru ingin membuka sekat atau dinding pemisah itu, dan memberikatmya kesempatan kepada siapapun untuk melakukannya. Malahan mereka yang paling dekat dengan suatu kejadian, tentu akan merupakan pihak yang paling kaya dengan data dan informasi. Justru analisis yang dilakukan oleh mereka yang dekat dan terlibat tersebut akan lebih berpeluang mendekati kebenaran. Dengan demikian, tanpa memberikan kemampuan yang cukup kepada masyarakat luas untuk melakukan analisis terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka, atau apa yang mereka alami, maka mereka menjadi sangat mudah "dimanipulasi", "dibuat bergantung" dan pada gilirannya tidak bisa mengambil sikap yang tepat.

v  Signifikansi Analisa Sosial
1. Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-persoalan yang berkembang (ada) secara lebih mendalam dan seksama (teliti); berguna untuk membedakan mana akar masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan, atau mana yang merupakan masalah turunan.
2. Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.
3.  Dapat mengetahui dengan lebih baik (akurat) mana kelompok masyarakat yang paling dirugikan (termasuk menjawab mengapa demikian).
4. Dari hasil analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa yang mungkin akan terjadi, sehingga dengan demikian dapat pula diperkirakan apa yang harus dilakukan.

v  Orientasi Analisa Sosial
1. Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan.
2. Analisa sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan dalam proses identifikasi. Justru karena itu pula, maka menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan salah satu titik simpul dari proses mendorong perubahan.
3. Analisa sosial akan menghasilkan semacam peta yang memberikan arahan dan dasar bagi usaha-usaha perubahan.

v  Prinsip-Prinsip Analisa Sosial
1. Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis (pencarian akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan yang lengkap, sehingga diha-rapkan keputusan atau tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat.
2. Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap suatu ke-yakinan. Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diam¬bil dalam proses melakukan analisa. Karena pernyataan di atas, maka analisa sosial dapat digunakan oleh siapapun.
3. Analisa sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah; tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus kerja transformasi.
4. Analisa sosial selalu menggunakan ‘tindakan manusia’ sebagai sentral atau pusat dalam melihat suatu fenomena nyata.

v  Model Telaah dalam Analisa Sosial
1. Telaah Historis, dimaksudkan untuk melihat ke belakang. Asumsi dasar dari telaah ini bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui sebuah proses sejarah. Dengan ini, maka kejadian, atau peristiwa dapat diletakkan dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan.
2. Telaah Struktur. Biasanya orang enggan dan cemas melakukan telaah ini, terutama oleh stigmatisasi tertentu. Analisa ini sangat tajam dalam melihat apa yang ada, dan mempersoalkan apa yang mungkin tidak berarti digugat. Struktur yang akan dilihat adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik (bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana masyarakat mengatur hubungan di luar politik dan ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat mengatur nilai).
3. Telaah Nilai. Penting pula untuk diketahui tentang apa nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan dengan pengembangan nilai-nilai tersebut.
4. Telaah Reaksi. Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada pemahaman mengenai "peta" kekuatan yang bekerja.
5. Telaah Masa Depan. Tahap ini lebih merupakan usaha untuk memperkirakan atau meramalkan, apa yang terjadi selanjutnya. Kemampuan untuk memberikan prediksi (ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap sebelumnya.

v  Tahap-Tahap Analisa Sosial
1. Tahap menetapkan posisi, orientasi: pada intinya dalam tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan menyingkap motif serta argumen (ideologis) dari tindakan analisa sosial.
2. Tahap pengumpulan dan penyusunan data: tujuan dan maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang suatu persoalan.
3. Tahap analisa: pada tahap ini, data yang telah terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan diantaranya.
4. Tahap penarikan kesimpulan: Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut ditemukan, maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan diambil. Kesimpulan merupakan gambaran utuh dari suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan demikian kualitas kesimpulan sangat bergantung dari proses tahap-tahap analisa, juga tergantung pada kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang tersedia, ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang mempengaruhi penilaian-penilaian alas unsur-unsur akar masalah. Yang tidak kalah penting adalah menemukan apa yang menjadi akar masalah. Untuk menemukan akar masalah dapat dituntun dengan pertanyaan: mengapa? Untuk sampai kepada akar masalah, maka penting dilakukan kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang paling penting. Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh paling dominan (paling kuat) dan demi kepentingan siapa unsur akar tersebut bekerja.*   


* Materi ini disampaikan di Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Komisariat Tribkti pada 01 April 2016 betempat di Gedung MWC NU Kec. Banyakan Kab. Kediri

Posting Komentar

0 Komentar