ASWAJA*
A.
Latar Belakang
Perjalanan
aswaja dalam kurun waktu sejarah peradaban masyarakat muslim tidak selamanya
barjalan mulus. Meskipun dirinya hadir sebagai pemahaman ke-islaman yang
dianggap paling sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad SAW serta para
sahabat.
Sebagaimana
yang telah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa ummatnya akan terpecah
menjadi 73 golongan dan hanya ada 1 golongan saja kelak yang akan selamat.
Sedangkan yang lainnya akan binasa. Ketika beliau ditanya oleh para sahabat:
“siapa mereka yang akan selamat?” Rasulullah SAW menjawab: “mereka adalah
orang-orang yang megikuti ajaranku dan ajaran para sahabatku”.
Tidaklah
cukup bagi seorang hamba mengklaim dirinya sebagai bagian dari ahlussunah wal
jama’ah atau bagian firqoh An-Najihah karena merasa telah mengikuti sunnah
Rasulullah SAW. suatu hal yang sangat mendasar adalah mengkaji dan memahami apa
yang Rasul lakukan dan ucapkan serta bagaimana para sahabat meriwayatkan dan
mensyarahi sebuah hadits tentang suatu perkara.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
latar belakang kelahiran ASWAJA dan pengertiannya?
2.
Bagaimana
ASWAJA sebagai Manhaj Al-Fikr?
3.
Bagaimana
prinsip ASWAJA sebagai Manhaj Al-Fikr dalam bidang Aqidah, Sosial politik,
Istinbat Hukum dan Tasawuf?
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Kelahiran ASWAJA dan Pengertiannya.
Ahlussunah Wal Jam’ah
bukanlah sebuah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.Dalam praktek peribadatan mengikuti salah
satu madzhab empat, dan dalam bertasawuf mengikuti imam Abu Qasim Al Junandi
dan imam Abu Khamid Al-Ghazali.
Kalau kita mempelajari
Ahlussunah dengan sebenarnya, batasan seperti itu terlihat begitu simple dan
sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat
eksklusif untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dulu kita perlutekankan
bahwah Ahlussunah Waljamaah (Aswaja) sesunguh nya bukan lah madhab, Aswaja
adalah sebuah manhaj Al- fikr ( cara berfikir)tertentu yang digaris oleh para
sahabat dan murid nya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualtas
tinggi dan relative netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam
kedudukannya sebagai manhaj Al-fikr meskipun merupakan produk yang bersih dari
realitas sosio kultural maupun sosio politik yang melingkupnya.
Ahlusunnah Waljamaah dalam sejarah merupakan
istilah yang menjadi nama bagi golongan kaum muslimin yang memiliki kesamaan
dalam beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa pandangan.
Istilah Ahlussunah Waljamaah ini bukan istilah yang dating dari nabi SAW.
sebagai nama bagi kelompok tertentu.
Secara kebahasan, Ahlu sunnah Waljamaah adalah
istilah yang tersusun dari tiga kata:
1. kataahl,
yang berarti keluarga, pengikut atau golongan
2. katasa-sunnah,
secara Etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh (jalan dan perilaku) baik
jalan dan perilaku benar atau keliru. Sedangkan menurut Treminologi (istilah)
para ulama berbeda pendapat tentang pengertian As-sunnah. Lalu apakah pengertan
As-sunnah yang menjadi maksud dalam istilah Ahlu sunnah Waljamaah berkaitan
dengan perpecahan umat islam menjadi beberapa golongan? Menjawab pertanyaan
ini, al-imam ibnu rajab al-hambali
mengatakan bahwa Ahlu sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti ajaran
nabi dan ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini merupaka pengertian yang
bukan dalam istilah Ahlu Sunnah Wal jamaah.
3. kata jamaah, secara etimologis adalah
orang-orang yang memelihra kebersamaan dan kolektifitas dan mencapai tujuan.
Sedangkan secara Treminologis, para ulam berbeda pendapat tentang maksud Al
jamaah dalam istilah Ahlu sunnah Wal jamaah ada 5 pendapat tentang pengertian
jamaah antara lain:
a)
Menurut sahabat Abu Mas’ud jamaah dalam
mayoritas kaum muslim.
b)
Jamaah dalam para ulama dan imam yang
mencapai tingkat mujtahid
c)
Menurut sahabat Umar bin Abdul Aziz, jamaah
adalah para sahabat Nabi SAW saja bukan generasi sesudah mereka
d)
Jamaah
adalah ijma’ kaum muslimin kepada suatu hukum dan prinsip yang hrus diikuti
oleh pengikut oleh agama-agama lain ijma, mereka dijamin oleh Allah tidak akan
tersesat sebagai mana dalam hadist nabi SAW.
e)
Menurut
al-imam at-thobari, jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila bersepakat dalam
memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus dibait dan disetujui oleh
kaum muslin yang lain, dan barang sapa yang melepaska kepemimpinan maka ia
keluar dari jamaah kaum muslimin.[1]
Ahlus Sunnah Wal jamaah adalah golongan
mayoritas umat Muhamaad.Mereka dalah para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam dasar-dasar kaidah. Mereka yang dimaksud oleh hadist
Rosulullah SAW yang artinya:
Maka baranag siapa yang menginginkan tempat
lapang di surga hendakalah berperang tegu pada jamaah; yakni berpegang teguh
pada akidah al-jamaah ( hadist ini disohihkan oleh al-hakim, dan at-tirmidzi
mengatakan hadist hasan shohih).[2]
Ahlusunnah tidak lepas dari kultur bangsa arab”
tempat islam berkembang untuk pertama kali. Seperti kita ketahaui bersama,
bangsa arab terdiri beaneka ragam suku
dan kabilah yang bisa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik
daherah nya yang sebagai besar padang pasir watak orng arab sulit bersatu dan
bahkan ada titik kesatuan di antara mereka merupakan sesuatu yang hamper
mustahil. Di tengah- tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat
labil persatuan dan kebersamaan ukhuwah, persamaan dan ersaudaraan atas dasar
ideology atau iman.
Selama
23 tahun dengan segal kehebatan, charisma, dan kebersamaan sedemikiannya,
Rosulullah mampu merendam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agam (ghiroh
islamiyah) jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuaan, persaudaraan,
ukhuwah dan kesejajaran matrabat dan fitnah manusia. Namun dasar watak alami
bangsa arab yang yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan
jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisian
sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat
menganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah).
Perselisihan
internal dikalangan Umat islam, secara system dan periodic terus berlanjut pase
meninggal nya Rosulullah, yang akhirnya komonditi perpecah menjadi sangat
beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan
ada juga masalah-masalah agama dijadika legistimasi untuk menapai ambisi
politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat
isalam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebai bom waktu, bukti
ini semakin Nampak dengan diangkatnya Ustman Bin Affan sebagai khalifah
pengganti Umar Bin khatab oleh tim formatur yang di bentuk oleh Umar menjelang
meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekeceaan politik bagi
pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam
sejarah isalam yaitu dengan dibunuh nya kholifah Usman oleh putra Abubakar yang
bernama Muhammad bin abu bakar.
Peristiwa ini yang menjadiakn latar belakang
terjadinya peperangan jamal siti Aisyah dan Sayidina Ali.Dan berikut keadaan
semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehinga
dikalangan internal uamat isalam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh sepert
Qodariyah. Jabariyah Mu’tazialah Dan kemudian lahairlah Ahlu sunnah. Melihat
rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahairnya aswaja, dapat ditarik
garis kesimpual bahwa lahirnya aswaja tidak terlepas dari latar belakang
politik.
B.
ASWAJA sabagai MANHAJ
AL-fikr
Dengan sikap dan dan pemahaman yang didasarakn
atas prinsip Ahlusunnah wal jamaah bik dari bidang teologi, fiqih dan tasamuh,
serta pengalaman empiric bangsa Indonesia ini,maka aswaja sebagai manhj fikr
(metode berfikir) harus bias menjadi alat yang bisa menjawab berbagai macem
realitas sebagai upaya mengontekstualakan ajaran islam sehinga benar-benar
dapat membawa islam sebagai rahamat Lil Alamin dengan memegang empat prinsip
yaitu:
1.Tawassutu, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip
keadilan serta berusaha mnghindari segala bentuk sikap ta’aruf, aik dalam biang
agama mauoun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan
disintegrasi.
2.
Tasamuh yaitu
siakp toleran yang berintikan penghrgaan terhdap perbedaan pandanagan dan
kemajemukan identitas budaya masyarakat. Kerena dengan dengan adanya siakp
tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas dapat ditegakan, dan ini
merupakan inti hidup bangsa.
3.
Tawazun, yaitu
sikap yang selalu berusaha mennciptakan antara hubungan sesama umat muslim
dengan Allah, antara akala dan wahyu, serta anatara indifidu dan kolekivitas,
dengan sikap tawazun ini harmoni dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan
bisa terwujud.
4.
Ta’adul, yaitu
sikap dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghrgai kebenaran yang
non ekskstrimitas (tatharruf) kiri atau pun kanan.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhjul fikr
artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadaikan
metode berfikir untuk mencapai kebenaran agama.Walaupun banyak tokoh yang telah
mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada didalam Aswaja tapai samapai
sekarang Aswaja dalam sebuaha metode berfikir ada banyak relevansinya dalam
kehidupan Agama, sehingga PMII lebih terbuka dalam pembukaan ruang dialetika
dengan siapapun dan elompok apapun.
Dengan prinsip moderat (tahwassut) bisa
dijadika senjata atau alat untuk selalau berdialaek dan berdialog dengan
kondisi zaman apapun, sikap ini sangat releven ketika dihdapakan dengan sekian
zaman. PMIItidak secara vis avis menyikapai gelombang tersebut, karena bagai
manapun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayaan yang hadir di
didunia dengan sekian implikasi yang dilahaitkannya, mak sika meleola dan
melarika diri kearah dogmah agama tanpa adanay pemaknaan kritis, bukanlah segalah
hal yang bersifat solutiv. Atas sumsi itulah sikap mengambil jalan tenggah,
mungkin bisa dijadikan upaya alternative untuk meletakan diri kita secara
proposional di tenggah peradaban ini. Karena modermisasi bukanlah merombak
secara total dengan menafikan tradisi ulama, tetapi bagai mana tradisi serta
tatana masyarakat lama tersebut bisa diaktualaisasikan dengan melakaukan
reinterpretasi ajaran sesuai kontek kekinian.
Aktualisasi prinsip yang pertama adalah bahwah
selain wahyu, kita juga meposisikan akal pada posisi yang terhormat. Karena
kemartabatan manusia terletak pada pakah dan bagai mana dia menggunakan akal
yang dimilikainya artinya, ada sebuah ketrkaitan dan keseimbangan yang mendalam
antara wahyu dan akal sehingga tidak terjebak pada sekripturalisme (tekstual)
dan rasionalisme,
Dalam konteks hubungan sosial, seorang kader
PMII harus bisa menghrgai perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun.
Tidak dibemnarkan kita memaksakan keyakinan apa lg hnya sekedar pendapat kita
terhdap orang lain. Yang di perbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan
mendialegtikakan keyakina atau pendapat tersebut dan endingnya diserahka pada
otoritas indifidu dari tuhan inilah manifestasi tassamuh dari aswajasebagai
mana manhjul fikr.
Dan yang terakhira adalah ta’wadzum (seimbang)
penjabaran prinsip ta’wadzum meliputi berbagai aspek kehidupan baik perilaku
indifidu yang bersifat sosial amaupun dalam konteks politik.Ini penting Karen
sering kali tindkan yang diambil dalam berintraksi di susupi oleh kepentingan
sesaat dan keberpihkan yang tidak sehrusnya. Walaupun dlam kenyataan
nyasanggatlah sulit bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki
keberpihkan sama sekali, minimal keberpihkan terhadap netralitas. Artinya
dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bwaha memandang dan
meposisikan segala sesuatu pada proposinya masing-masing adalah sikap yang
paling bijak., dan buka mengambil sikap karena itu adalah sikap pengecut dan
opur tunis,
Yang terakhir adalah
ta’adul ( kadilan) yang merupakan ajaran universal aswaj. Setiap pemikiran,
sikap dan realisasi, harus diselaraskan danegan landasan ini kadilan disini
adalah kedilan sosial.Landasan kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan
politik, ekonomi, mudaya, pendidikan dan sebagainya.
Ket: Materi ini diambil dari Modul MAPABA II yang diadakan oleh Rayon Brantas
0 Komentar