Oleh Ahmad Khoirul Mustamir S.Pd.I, S.H
A.
Pendahuluan
Wacana melalui media, merupakan komponen penting dalam
demokrasi. Media menjadi sarana intimidasi kesadaran paling efektif di tengah
kerinduan masyarakat tentang kehidupan ideal. Tak ayal, jika tokoh politik
menjadi “media darling” dengan tanpa
ada jarak untuk mengkritisi.
Trend syahwat menjadi “media darling” tokoh-tokoh politik Indonesia seolah tanpa puncak.
Ditengah semakin tumpulnya, kesadaran kritis informasi, mediaa justru melalui
pelbagai acara, mem-breeding
kelebihan-kelebihan tokoh politik tanpa melihat ketidakmampuannya.
Contohnya,
melalui acara Mata Najwa, tokoh politik daerah pun dengan berbekal prestasi
sederhana menjadi tokoh nasional. Tri Risma Harini, sejatinya konsep
pembangunan Kota Surabaya bukan ide pribadinya, akan tetapi ide Bambang DH
(Wali Kota sebelumnya). Pengakuan ini, sudah menjadi rahasia umum di kalangan
aktivis Surabaya yang bergerak di lingkungan dan pelbagai pekerja media.
Betapapun demikian, pekerja media tidak bisa menyuarakan kebenarannya karena
ditekan pelbagai pihak kepentingan.
Di sisi lain, bola liar wacana Tri Risma Harini sebagai
konseptor tata kelola Surabaya sudah tidak terbendung. Akhirnya, segala
tindakan yang dilakukan Tri Risma Harini, meskipun bertentangan dengan
nilai-nilai konstitusi dianggap “wajar”. Satu contoh penertipan Pedagang Kaki
Lima (PKL) Surabaya dan Pemulung Kota Surabaya. Menurut Yasin Efendi S.H,
Koord. Advokasi Publik LBH Surabaya, menyatakan, arogansi Tri Risma Harini
dalam menertibkan PKL dan Pemulung di Kota Surabaya sudah melanggar konstitusi.
Sebanyak 20 koordinator paguyuban PKL dan Pemulung dipidanakan hanya karena
tetap beroperasi. Pemidanaan tesebut didasarkan, pelanggaran Peraturan Wali
Kota No 19 Tahun 2013 tentang Tata Kelola Surabaya.
Padahal isi Perwali tersebut, bertentangan dengan
asas-asas hukum pembuatan regulasi. Misalnya, nilai kepastian dan humanisme.
Para Peraturan Wali Kota No 19 Tahun 2013 tentang Tata Kelola Surabaya.
Kepastian hukumnya tidak ada, terbukti banyak sekali indomart atau alfamart
yang tetap berdiri megah meskipun berada di tanah pemerintah Surabaya. Selain
itu, proses pengalihan tempat pedagang kaki lima atau pemulung. Hasil
penelitian Pusham Surabaya menyatakan, pelanggaran nilai humanisme Tri Risma
Harini terhadap PKL dan Pemulung sangat memprihatinkan. Pasalnya, hak hidup dan
bekerja dikebiri dengan cara-cara pemidanaan berdasarkan produk hukum sendiri.
Fakta kebungkaman media melalui strategi wacana tidak
hanya ada dalam kasus Tri Risma Harini. Banyak serupa, misalnya Yoyok Subianto
(Bupati Batang), Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, Basuki Tjahaya Purnama (Gubernur
Jakarta). Bahkan beberapa aktivis hak asasi manusia menjadi korban pewacanaan
media atas dasar permintaan kelompok kepentingan, seperti Choirul Anam
(Direktur HRWG), Asfinawati (Mantan Direktur LBH Jakarta) dan masih banyak
lainnya.
Berdasarkan problematika di atas, kita sebagai generasi
intelektual muda harusnya mengambil peran pemnfaatan wacana untuk membangun
kecerdasan masyarakat. terlebih sebagai bagian dari anak-anak Nahdhotul Ulama
(NU) yang kental dengan tradisi intelektual. Selain itu, saat ini situasi
gerkan-gerakan Islamisme semakin menyerang dan mengakar di masyarakat.
Eksistensi NU juga semakin tergerus dengan wacana “Islam Kaffah.”
B.
Pengertian
Tulisan ini sengaja diawali dengan
pengertian tentang wacana. Hal ini penting dilakukan untuk memperoleh gambaran
yang utuh mengenai studi analisis wacana yang lebih komprehensif. Berdasarkan
pelbagai kajian CMARs Surabaya, menyebutkan orang-orang sekarang cenderung
menyederhanakan pengertian wacana. Tidak mengherankan, jika di kalangan akademisi,
agamawan muda dan masyarakat awat mengucapkan “hanya sekedar wacana.” Berikut
pelbagai pengertian wacana:
·
Collins Concise English Dictionary (1988)
Wacana
adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan; sebuah perlakuan formal dari
subjek dalam ucapan atau tulisan; sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis
untuk menganalisis satuan lebih dari kalimat.
·
Longman Dictionary of the English Language
(1984)
Wacana
adalah sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur
pada ide dalam ucapan dan tulisan; pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat,
risalah dan sebagainya;sebuah unit yang dihubungkan ucapan atau tulisan.
·
J.S. Badudu (2000)
Wacana
adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu
dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang
serasi di antara kalimat-kalimat itu; kesatuan bahasa yang terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan koherensi dan
kohesi yang tinggi berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang
nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
·
Crystal (1987)
Analisis
wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa
lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan wawancara,
komentar, dan ucapan-ucapan.
·
Hawthorn (1992)
Wacana
adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di anatara
pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di amna bentuknya
ditentukan oleh tujuan sosialnya.
·
Roger Fowler (1977)
Wacana
adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang
kepercayaan, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya;kepercayaan di sini
mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.
·
Foucault (1972)
Wacana
adalah kadang kala sebagai bidang dari semua pernyatan (statement), kadang kala
sebagai sebuah individualisasi kelompok pernytaan, dan kadang kala sebagai
praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Adanya perbedaan mengenai wacana ini lebih dikarenakan
adanya cara pandang yang berbeda dari disiplin ilmu yangmelatarbelakanginya.
Dalam lapangan sosiologi, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari
kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari
bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau
kalimat tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut.
Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial,
diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan
struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya.Sementara dalam
lapangan politik, analisis wacana adalah praktikpemakaian bahasa, terutama
politik bahasa karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu
subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang
dipelajari dalam analisis wacana.
Dengan pelbagai pengertian istilah wacana yang
berbeda-beda tersebut ada titik singgungnya, yaitu analisis wacana berhubungan
dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.Bahasa sebagai fakta sosial
dianalisis untuk mencari makna, kepentingan, nilai dan segala bentguk kesadaran
manusi. Pada akhirnya, peneliti akan memahami kesadaran konsensus dalam
masyarakat dengan kurun waktu tertentu.
C.
Penerapan Analisis Wacana
C.
1 Analisis Wacana sebagai Metode Penelitian
Dari segi normatif, Komarudin Hidayat memandang kemampuan
berbahasa merupakan kelanjutan dariperjalanan panjang sabda Tuhan yang
ditansformasikan kepadamanusia. Dengan mengikuti alur pemikiran ini, maka
kebudayaanadalah manifestasi dari kapasitas bahasa akal budi serta aktualisasi
darikebebasan manusia, untuk menjadikan sabda sebagai budaya.Fenomena negara,
birokrasi, perilaku politik dan segala macam aturanserta norma kehidupan
manusia tak lain adalah teks yang tertulis danterlembagakan dalam kertas maupun
lembaran sosial sebagai ekspresibahasa batin (inner language) ke dalam bahasa praksis (praxis language).
Karena dunia manusia diawali, dibangun serta dipelihara
dengan sabda Tuhan, yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk bahasa, maka
jika dunia bahasa mengalami krisis akibatnya keseimbangan kosmik dan sosial
bisa gonjang-ganjing. Di sini perlu
diingat, bahwa artikulasi dan ekspresi bahasa bisa dalam bentuk ucapan,
tulisan, gerak tubuh, dan ekspresi lain. Ucapan hanyalah sebagian kecil dari
berbahasa, meskipun ucapan adalah saluran paling vokal dari aktivitas
berbahasa.
Meskipun bahasa ucapan paling mudah dan vokal untuk
dikemukakan, namun ia memiliki kelemahan yang serius. Bagi orangyang memiliki
integritas tinggi, ucapannya memang bisa dipegang dan dijadikan indikator dari
keluhuran budi serta kedalaman ilmunya. Tetapi sebaliknya, seringkali kita
jumpai bahasa ucapan digunakan sebagai topeng untuk menutupi agar kebusukan
seseorang tidak terlihat oleh orang lain. Oleh karenanya dalam dunia akademis
bahasa tulisan dijadikan standar karya keilmuan, agar kapasitas keilmuannya
mudah diuji dan diapresiasi oleh orang lain.
Lebih dari itu, kalau saja apresiasi peradaban seseorang
atau suatu masyarakat tidak diawetkan ke dalam bahasa tulis, generasi
berikutnya akan rugi, dan berbagai bangunan peradaban berarti harus dimulai
lagi dari nol. Maka sangat benar jika dikatakan bahwa peradaban manusia ini
mengalami loncatan dan pengkayaan yang luar biasa besarnya, setelah
ditemukannya mesin tulis dan mesin cetak. Bayangkan saja kalau manusia tidak
menciptakan sistem tanda (terutama bahasa tulis), maka khazanah peradaban masa
lalu akan hilang. Ini berarti bahasa bukan sekedar media komunikasi, melainkan
sebuah realitas ontologis yang bereksistensi dan tumbuh dalam panggung sejarah.
Ketika seorang membaca dan memahami sebuah teks, secara
tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai dengan
kemampuan dan kecenderungan subyektivitasnya. Oleh karenanya sebuah teks yang
sama ketika dibaca ulang bisa melahirkan pemahaman baru.Karena setiap
pengarang, teks dan pembaca tidak bisa lepas dari konteks sosial politis,
psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka
dalam memahami teks diperlukan transfer makna.
Bahasa, di mata para fenomenolog, bukan hanya diterima
secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi
pengungkapan-pengungkapanmaksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bagi mereka,
wacana adalah suatu upaya pengungkapan makna tersembunyi dari subjek yang
mengemukakan suatu pernyataan. Bahkan semua ahli komunikasi sepakat, bahwa
makna kata sangat subjektif.
Para ahli filsafat dan linguis umumnya mengakui bahwa,
masalah makna suatu ungkapan bahasa merupakan persoalan yang paling mendasar di
dalam filsafat bahasa. Pada awal perkembangannya di Inggris, sebagai seorang
tokoh utama yang memperkenalkan madzhab analitik bahasa ini, mempersoalkan
makna yang dikandung dalam ungkapan filsafati. Russel dan Wittgenstein,
kemudian melangkah lebih maju dalam rangka memberi bobot maknake dalam bahasa
filsafat melalui bahasa yang bersifat logis sempurna. Mereka membedakan antara
struktur logis dan struktur bahasa, sehingga memudahkan kita untuk membedakan
antara ungkapan yang tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung
arti(meaningful). Langkah-langkah ini
dilanjutkan pula oleh positivisme logis yang berupaya menentukan kriteria
pernyataan yang mengandung makna, melalui prinsip verifikasi.
Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih
dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan
sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika
dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Dan tanda bahasa, seperti kata
Althsuser, filosof abad XX berkebangsaan Perancis, merupakan arena perjuangan
ideologis berbagai kepentingan. Senada dengan hal itu, Karl Manheim, pemikir
sosiologi pengetahuan dan Jurgen Habermas, filosof kritis, meyatakan bahwa
pengetahuan tidak bisa dilepaskan pertautannya dengan kepentingan. Derrida juga
menegaskan hal yang sama. Bahasa tidak pernah netral dan tidak pernah bersalah
(innocent). Walaupun sering menampilkan diri sebagai kebenaran, ia penuh dengan
asumsi dan investasi ideologis yang tidak segera tampak. Demikian Moh Yasir
Alimi menjelaskan mengenai kedudukan bahasa dipandang dari berbagai segi
filsafat ataupun sosiologi.
Dalam perkembangan selanjutnya, wacana deperkenalkan oleh
M. Foucault dengan istilah discourse.
Menurutnya, discourse mempunyai arti artikulasi
ideologis dari kenyataan yang dibentuk oleh kelompok-kelompok yang saling berkompetisi
untuk memperebutkan kebenaran tafsir sejarah, termasuk di dalamnya wacana
agama. Oleh karena itu, discourse
adalah konstruksi ideologis (ideological
construction) yang dipakai untuk melegitimasi mempertahankan dan
memperebutkan kekuasaan, dalam pengertian inilah, ditegaskan di sini bahwa
pemikiran keagamaan adalah discourse,
yaitu konstruksi ideologis untuk melegitimasi dan mempertahankan dominasi
secara sosial, politik maupun ekonomi.
Sebutan diskursus juga untuk menunjukkan salah satu aspek
konstinutif bahasa. Dalam aspek ini, bahasa bukan hanya, seperti yang sering
dipahami, mengkomunikasikan pikiran, atau merepresentasikan gagasan, tapi juga
membentuk/ mengkonstitusikan kenyataan. Di sinilah perbedaan antara “diskursus”
dan “kalimat” (sentences). Kalau “kalimat” hanyalah mengungkapkan kabar/berita
sedangkan “diskursus” mempengaruhi jiwa, menyerang integritas, menimbulkan
konsekuensi ideologis dan membentuk kenyataan. Contoh ungkapan “Saya laki-laki”
atau “Saya perempuan” bukan sekedar menunjukkan kabar bahwa jenis kelamin saya
adalah laki-laki. Ungkapan itu juga mempunyai konsekuensi ideologis bahwa “Saya
adalah laki-laki, maka bila ingin menjadi laki-laki sejati tidak selayaknya
saya memakai pakaian, identitas, atau identifikasi apapun yang selama ini
dilekatkan pada perempuan.” Demikianlah ungkapan itu akhirnya bukan sekedar
kalimat, tapi juga suatu kontrol ideologis untuk menjadi perempuan dan
laki-laki sejati.
C.
2 Analisis Wacana
sebagai Salah Satu Metode Kajian Teks
Ada tiga metode dalam membahas isi media dengan
pendekatankualitatif, yaitu analisis wacana (discourse analysis), analisis
semiotik, (semiotic analysis), atau analisis framing/ bingkai (framing
analysis), yang semuanya berpijak pada asumsi bahwa sebenarnya isi media
dipengaruhi oleh berbagai komponen yang terdapat dalam institusi media itu
sendiri.
Secara umum, karakteristik penting dari analisis wacana
kritis antara lain:
1. Tindakan.
Wacana adalah bentuk interaksi, oleh karena itu wacana
harusdipandang sebagai sesuatu yang bertujuan apakah untukmembujuk, menyangga,
bereaksi, dan sebagainya. Di samping itujuga wacana dipahami sebagai sesuatu
yang diekspresikan secarasadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali
ataudiekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks.
Wacana diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu
kontekstertentu, maka analisis wacana kritis sudah semestinyamempertimbangkan
konteks dari wacana seperti latar, situasi,peristiwa dan kondisi.
3. Historis
Sisi historis perlu dikembangkan untuk mendapatkan
pemahaman mengenai wacana teks. Sehingga, pada saat melakukan analisisdapat
ditemukan alasan mengapa wacana yang berkembang ataudikembangkan seperti itu,
mengapa bahasa yang dipakai seperti itudan seterusnya.
4. Kekuasaan
Elemen kekuasaan perlu diketengahkan dalam analisis
wacana karena setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapanatau
apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar,dan netral tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi
Ideologi tidak bisa lepas dalam pembentukan sebuah
wacana, yang pengaruhnya terlihat dalam waujud teks, percakapan dan lainnya.
Berdasarkan karakteristik analisis wacana di atas, menururt
Eriyanto pendekatan analisis wacana ini ada 5 macam yaitu:
1. Analisis Bahasa Kritis (Critical Lingusitic).
Inti dari gagasan critical lingusistic adalah melihat
bagaimanagramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu.Dengan
kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat bahasadan struktur tata
bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan katamaupun struktur gramatika,
dipahami sebagai pilihan, mana yangdipilih oleh seseorang untuk diungkapkan
membawa makna ideologi tertentu.
2. Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)
Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori
ideologi Althusser dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux,bahasa
dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa danmaterialisasi bahasa dan
ideologi. Keduanya, kata yang digunakandan makna dari kata-kata menunjukkan posisi
seseorang dalamkelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui
manaberbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkankeyakinan dan
pemahamannya.
3. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)
Dalam pendekatan ini, wacana yang dikembangkan Van Dijk
dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakansuatu proses
yang disebut sebagai kognisi sosial.
4. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan
memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektisantara praktik
diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacanajuga melekat dalam situasi,
institusi, dan kelas sosial tertentu.Memaknai wacana demikian, menolong
menjelaskan bagaimanawacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo danmentransformasikannya.
5. Pendekatan Sejarah (Discourse
Historical Approaches)
Wacana di sini disebut historis karena menurut Wodak dkk,
analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimanawacana tentang suatu
kelompok atau komunitas digambarkan.
D.
Penutup
Dewasa
ini, menyoal wacana, harusnya menjadi kesadaran gerakan intelektual bersama.
Hal ini didasarkan, praktik usaha mencapai kepentingan terbungkus rapi dalam
politik wacana. Representasi nilai keadilan dan humanisme, seolah menjadi
bagian strategi membungkus kepentingan politik, kekuasaan dan lain sebagainya.
Permasalahan
di atas, sejatinya bukan hal yang baru. Studi-studi berdimensi kritis sejak
tahun Tahun 1960 pun sudah menyuarakan permasalahan tersebut. Akan tetapi,
betapapun demikian, akan tetapi gerakan belum mencapai bentuknya. Artinya,
secara pengembangan keintelektualan akademisi, seringkali tidak bisa
mengakomodir. Akademisi hanya melandaskan pada prosedul ilmiah baku, sebagai
pijakan kekritisannnya.
Menanggapai
permasalahan tersebut, saat ini hanya analisis wacana yang mampu menyambut
kegundahan kekritisan tersebut. Sebagian besar akademisi semisal ahli
linguistik Unair, sudah mempropagandakan analisis wacana sebagai strategi
perjuangan dalam kajian-kajian akademisi. Subjeknya sangat real, yaitu bahasa. Pandangan
ini dilandaskan pada paham strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa adalah
realitas fakta sosial. Hal ini menjadi uforia tersendiri dalam gerakan-gerakan
intelaktual.
Uforia
tersebut, harusnya tidak membuat kita kaget. Karena sejatinya, sebagai warga
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sudah menjadi ideologi kritis
berdimensi ilmiah. Dalam sejarahnya, kita tidak dibiasakan untuk kritis dengan
hanya berorasi tanpa punya analisis dan kajian ilmiahyang kokoh (Budaya Cangkeman).
Akhirnya, sebagai penutup, saya mengatakan
Anda sangat beruntung menjadi warga PMII, terlebih PMII TRIBAKTI KEDIRI. Sejak
dahulu, PMII Tribakti Kediri mentradisikan kajian dalam pelbagai isu, terutama
isu tentang menangkal gerakan Radikalisme. Kita dilahirkan di NU, masuk
organisasi NU, harusnya kita berjuang bersama NU dengan mengedepankan tabayyun.
Selamat datang dalam pergolakan yang
sesungguhnya. Pertaruhan identitas keintelektualan NU ditangan kita semua.
Semoga sahabat/sahabati mengambil bagian penting dalam perjuangan visi, misi,
tujuan PMII. Akhirul Qouli, Wallahumuafiq Ilaa Aqwamit Thoriq. Wasaalam
Mualaikum Wr.Wb.
*Materi ini disampaikan di PKD PMII Komisariat Tribakti 31 Maret 2016 di Gedung MWC NU Kec Banyakan Kab. Kediri
DAFTAR PUSTAKA
Ø Eritanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKiS.
Ø Peneliti LBH Surabaya, Penelitian Tata Kelola Kota
Surabaya, 2014, naskah tidak diterbitkan
Ø Banbang Budiono, Paradoks Pemirntahan Tri Risma Harini,
2015, naskah belum diterbitkan
Ø Wawancara dengan Choirul Anam, 25 Maret 2016 di Hotel
Elmi Surabaya
1 Komentar
mantap
BalasHapus