Pelukmu Untuk Pelikku

 


"Kita perlu kecewa untuk tahu bahagia" sepenggal lirik lagu gubahan fiersa besari ini, memaksa pikiran memutar kembali memori masa lampau. Masa dimana filsafat dibuat meleleh tak karuan, terpana, hingga jatuh hati pada sains. Namun, kemesraan ini tak sesuai ekspektasi yang ada. Pelukan hangat sains ini, ternyata adalah sinyal awal dari kepelikan yang akan didera oleh filsafat kelak.

Benih-benih kemesraan antara filsafat dan sains bermula dari Revolusi Coperniccan. Nicollas Coperniccus telah berhasil menjungkir balikkan rezim ilmu pengetahuan kala itu, yang didominasi oleh Aristotelles dan Cladio Ptolemy (Neo-Aristotellian). Konsep-konsep tersebut dinilai telah usang dan irrasional. Sebab jika dihitung secara matematis, kata Coperniccus bumi tidak mungkin menjadi pusat jagat semesta raya. Anggapan tersebut selanjutnya dibuktikan oleh Galileo Galilei melalui teropong bintangnya.

Pada gilirannya usaha pembuktian empiris dari Galileo Galilei, menginspirasi salah satu filosof besar Renaissance yaitu Sir Francis Bacon. Bacon berpandangan ilmu pengetahuan harus berlandaskan dengan metode induksi murni. Metode induksi itu sama sekali berbeda dengan induksi yang digagas oleh Socrates. Sebab, metode induksi murni harus berpijak pada observasi empiris dan hasilnya harus dianalisis terlebih dahulu. Senada dengan hal ini, melalui sabdanya "The Knowledge Is Power" ia berhasil menggetarkan jagat Eropa Raya. Sebab pasca Bacon, lahir era modern yang merayakan euforia kemesraan filsafat dengan sains.

Euforia itu bisa kita lihat dari para filosof yang saling berkompetisi meramu "metode" hingga melahirkan satu proposisi filsafatnya. Sang pewaris kandung ajaran Bacon adalah madzhab Empirisme yang subur di daratan Elizabeth. Dalam rangka merumuskan gagasan filsafatnya, madzhab ini menggunakan metode empiris (observasi). Di lain sisi, aliran filsafat Rasionalisme menggejala di Eropa Daratan. Aliran ini meyakini bahwa sumber pengetahuan itu berasal dari rasio dan menolak pengenalan inderawi. Meski demikian, Rasionalisme juga ikut merayakan ueforia kemesraan filsafat dan sains. Terbukti ia juga terlibat aktif merumuskan proposisi filsafat secara metodis. Rene Descartes misalnya, ia menggunakan metode kesangsian untuk merumuskan proposisi "cogito ergo sum".

Kulminasi dari filsafat modern yang syarat akan nuansa sains ditengarai dengan lahirnya Positivisme. Proyek besar Positivisme adalah purifikasi ilmu pengetahuan dengan cara menerapkan prinsip atau cara kerja ilmu alam ke dalam filsafat. Singkatnya ia hendak menjadikan obervasi atau uji empiris sebagai satu-satunya pijakan epistemologis guna menjadikan filsafat se-objektif mungkin. Hingga pada akhirnya, metafisika dan hal-hal yang bersifat transenden mau tidak mau tereliminasi dari dekapan filsafat.

Selanjutnya di abad ke-20 lahir sebuah aliran filsafat Positivisme Logis atau mafhum dikenal dengan nama Lingkaran Wina. Klaim yang diberikan kepada Positivisme Logis adalah muara dari Positivisme yang digagas August Comte di abad 19. Mengapa demikian? karena ia beranggapan hanya proposisi empirislah yang dapat diuji kebenaran atau kesalahannya. Dengan kata lain, proposisi empiris mempunyai makna pengetahuan (Sense). Sebaliknya proposisi filsafat yang spekulatif dan proposisi teologi, bukan merupakan pengetahuan (Nonsense). Sebab tidak menghasilkan makna pengetahuan apapun.

Positivisme Logis juga berusaha untuk memadukan seluruh ilmu pengetahuan ke dalam satu bahasa ilmiah yang sama. Ia optimis bahwa seluruh ilmu pengetahuan mampu didekati dengan pendekatan positivistik. Lantaran Positivisme mempunyai prinsip empiris-objektif, deduktif-nomologis dan instrumental-bebas nilai. Hari ini harapan tersebut terwujud dengan munculnya rezim ilmu pengetahuan baru, yaitu rezim paradigma positvistik.

Nampak dari sini, filsafat dan sains bukan hanya sekedar bermesraan dan berpelukan belaka. Akan tetapi, metode sains sudah terlanjur mencengkeram bahkan mencekiknya. Hal itulah yang terjadi hari ini, filsafat termengap-mengap agar bisa tetap eksis sebagai ilmu pengetahuan. Ia telah kehilangan taringnya untuk memikirkan hakikat keberadaan secara mendalam. Perbincangan hakikat keberadaan telah dibungkam rapat-rapat oleh rezim positivistik. Pasalnya hal ini dianggap tidak empiris dan tidak ilmiah. Filsafat hari ini bak mesin scanner kasir, yang hanya mampu mencecap data-data empiris dan hasilnya hanya benar dan salah. Disisi lain filsafat telah kehilangan makna kritis dan emansipatorisnya. Filsafat hanya bekerja pada wilayah teknis, lantaran ia diberi label instrumental oleh penganut Positivisme.

Kecewa? itu pasti. tapi mau gimana lagi, semen sudah menjadi cor-coran. Pelukan hangat dan ucapan manis yang diberikan sains di masa lampau, berujung pada kepelikan panjang yang dialami filsafat. Bahkan tidak sedikit yang berasumsi bahwa filsafat telah mati suri. 

Posting Komentar

0 Komentar