Dilema Ke-Fardhu-an

 

Dalam ajaran Islam, hukum fardhu kifayah merupakan kewajiban yang harus dilakukan setidaknya salah seorang dari suatu kelompok. Hukum ini lebih ringan daripada hukum Fardhu 'Ain, dimana kewajiban berlaku bagi semuanya tanpa terkecuali. Kedua hukum tersebut seperti telah menjadi dilema bagi para pembelajar di PMII tentang kaderisasi intelektual.

 

Pada praktek keagamaan, hukum Fardhu 'Ain selalu dikaitkan dengan berbagai praktek ibadah dalam rukun islam, yaitu Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji. Setiap muslim wajib melaksanakannya, tanpa terkecuali. Namun fardhu kifayah berbeda, kewajiban yang dimiliki oleh suatu kelompok akan gugur cukup dengan salah seorang yang melakukannya, seperti contoh kegiatan menafsirkan hukum-hukum keagamaan yang hanya mampu dilakukan oleh sebagian orang saja.

 

Menurut Prof. K.H. Ali Yafie, ri'ayah (kepemimpinan) dan mas'uliyyah (tanggung jawab) yang menyangkut kehidupan bermasyarakat merupakan inti dari Fardhu 'Ain. Hukum Fardhu 'Ain cukup dimaknai sekedar sebuah hukum kewajiban saja, terdapat aspek kemshlahatan di dalam hukum tersebut. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana hukum menjadi seorang pembelajar dalam suatu organisasi?

 

Kegiatan belajar tentunya menjadi kewajiban bagi setiap orang, tidak terkecuali dalam konteks organisasi kemahasiswaan. Kegiatan yang melibatkan berbagai usaha untuk mendapatkan pemahaman tentang ilmu pengetahuan akan sangat dibutuhkan dalam proses sebagai warga organisasi.

 

Berkaitan dengan hukum pembelajar dalam sebuah organisasi, perbincangan ini ternyata telah menuai berbagai respon yang cukup menghebohkan. Tentu saja, kegiatan belajar adalah sebuah kegiatan yang sering dikaitkan dengan aksi anti kemapanan. Kenyataannya, belajar adalah kegiatan yang menghidupkan sebuah organisasi menjadi mapan.

 

Lahirnya wacana anti kemapanan terhadap pembelajar seakan telah menghancurkan martabat intelektual dalam kontribusinya terhadap organisasi. Intelektualitas dianggap sebagai pemberontak yang mengancam status quo, tentu berbagai cara akan dilakukan untuk menghalangi aksi tersebut. Seperti menciptakan kultur yang bersifat destruktif terhadap semangat belajar, mengintervensi dan mendiskriminasi dalam hal-politis, memanjakan kesadaran normatif, bahkan melegitimasi kegiatan belajar untuk berbagai kepentingan tertentu.

 

Fenomena di atas sangat umum kita temui dalam suatu organisasi. Kaderisasi yang dijalankan dibangun dengan dasar kesadaran “kontra” terhadap para pemberontak atau pembelajar. Tentunya kondisi demikian berorientasi pada pengekangan atau pemaksaan proses kaderisasi, pada gilirannya kaderisasi tidak lagi sebagai upaya mencerdaskan dan menyadarkan, namun lebih kepada upaya mengkonstruk nalar kader.

 

Konstruk nalar dimaksudkan sebagai upaya hegemonik yang dilakukan oleh suatu kalangan untuk tujuan tertentu. Seperti menutupi kejahatan politik, memasukkan ideologi baru, melanggengkan kekuasaan, dan lain sebagainya. Dalaam kesadaran normatif, tentunya ini sangat sulit untuk disadari, terutama oleh para junior dalam organisasi tersebut.

 

Dibandingkan mengajari seseorang untuk pintar, memberikan penyadaran terkait problem tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan. Strategi hegemonik yang diterapkan ternyata telah menusuk jauh lebih dalam  hingga menjadi sebuah keyakinan tanpa sadar. Inilah yang menjadi akar masalah dalam sebuah organisasi, tidak terkecuali PMII.

 

Kesadaran yang mengendap dalam ruang "tak sadar" telah berkembang menjadi sebuah benteng yang kokoh. Seakan telah berdiri dengan membusung, setiap orang dengan kesadaran demikian akan menjadi momok bagi kaum pembelajar dalam satu organisasi tersebut. Tergambar dalam sebuah distingsi antara konsep peran "pembelajar" dan "pemimpin" di dalam organisasi.

 

Entah dari mana lahirnya, distingsi tersebut dalam klaim sebagian orang merupakan upaya memberi ruang terhadap kaum pembelajar. Secara inplisit dimaknai bahwa seorang pemimpin bukan sebagai pemikir, begitupun sebaliknya. Tentu akan menimbulkan pertanyaan, mengapa?

 

Alasan pembedaan tersebut menurut klaim orang-orang pendukungnya, seorang pemikir haruslah fokus di wilayah kajian keilmuan semata, dengan menafikan berbagai kegiatan diluar belajar, terutama dalam perannya sebagai pemimpin. Sedangkan, pemimpin dipahami sebagai seseorang yang memiliki kemampuan leadership dan menejemen organisasi, bukan pembelajar atau pemikir. Pembedaan ini sangat sarat akan masalah.

 

Kegiatan belajar adalah sebuah kegiatan mencari kesejatian diri. Dalam prosesnya, belajar akan selalu melibatkan kerja psikologis pelakunya. Hal demikian yang mengantarkan seorang pembelajar kearah tujuan yang ingin dicapai, tidak lain adalah mimpi atau cita-cita dan jati diri. Upaya menempa diri dilakukan selaras dengan kebutuhan keilmuan yang ingin didalami, seperti layaknya seorang ulama, ia harus menjalankan berbagai ritual keagamaan tertentu untuk menunjang kegiatan belajarnya, seperti puasa, sholat tahajud dan lainnya.

 

Salah satu orientasi belajar adalah Multitalent. Pembelajar tidak bersifat monoton dalam prosesnya, ia adalah seorang yang selalu ingin tahu dan berusaha menambah kapasitas keilmuan serta kemampuan kerjanya. Makna belajar di sini bukan sebagai sebuah karakter yang ekslusif, sebaliknya, pembelajar justru dituntut untuk terbuka kepada segala hal.

 

Prinsip tersebut selaras dengan apa yang hari ini kita yakini sebagai Paradigma Organisasi PMII, yaitu Paradigma Kritis Transformatif. Sebuah prinsip kerja keorganisasian yang diformalkan dalam kurikulum kaderisasi PMII. Meski demikian, paradigma adalah aspek paling dasar dalam menjalankan tugas keorganisasin maupun kemahasiswaan.

 

Paradigma seperti yang dijelaskan oleh Husni Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul Multi Level Strategi PMII. Paradigma pertama kali dipakai oleh PMII pada kepengurusan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum. Paradigma digunakan untuk kenyatakan apa yanh oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sosial sesuai lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku yang berjudul Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.

 

Dalam perkembangannya, Abdul Aziz menjelaskan bahwa perkembangan paradigma dalam PMII menerima banyak tantangan. Kaderisasi yang diposisikan sebagai proses membangun analisis kelompok mahasiswa sesuai kondisi kultural objek dibenturkan dengan perkembangan kondisi intelektual kader PMII secara umum. Paradigma di PMII lahir sebagai sebuah konsep tentang prinsip rasionalitas pergerakan justru tidak selaras dengan realita di Indonesia.

 

Penggunaan paradigma kritis transformatif pada periode ketum Syaiful Bahri Anshori diharapkan bahwa kader-kader PMII mampu mengikuti kondisi dan wacana-wacana kritis yang ada. Prinsip kritis dimaksudkan adanya usaha lebih mendalam dalam membaca dan menyusun strategi untuk menghadapi suatu suatu problem sosial.

 

Kondisi yang ada hari ini justru jauh dari harapan paradigmatis yang telah ditetapkan. Jangankan memahami terkait bagaimana paradigma? Atau apa itu kritis? Gerakan mahasiswa hari ini justru jauh dari makna refleksi filosofis. 

 

Kondisi ini mengingatkan saya pada sebuah tulisan karya Akhol Firdaus yang berjudul Kampus Pembelajar, dalam tulisannya ia menyindir fenomena yang lazim kita jumpai di dunia perkuliahan, yaitu sistem pendidikan yang kita anut sekaligus kesadaran belajar yang menjalar pada mahasiswa secara umum.

 

Dalam tulisan tersebut, Akhol atau yang kerap disapa Cak Akhol menjelaskan problem mendasar dari kegagalan pembelajaran karena tidak membaca. Bagaimana mungkin sebuah kampus dipenuhi oleh komunitas-komunitas tidak membaca, se-inovatif apapun solusinya jika tidak membalikkan marwah kampus dengan membaca tidak akan berdampak serius. Demikian kira-kira ungkap beliau.

 

Fenomena seperti yang diungkapkan oleh Akhol tersebut selaras dengan kondisi yang sedang dihadapai dalam organisasi kemahasiswaan. Bagaimana tidak, sebagai organisasi yang berorientasi pada gerakan sosial berjalan tanpa landasan teoritis apapun, seperti lemahnya paradigma kader.

 

Lebih dari itu, etika akademik sebagai mahasiswa sepertinya bukan lagi hal wajib untuk dicerna. Dari hasil survey 'Ecek-ecek' saya terhadap kondisi mahasiswa semester akhir dalam mengerjakan skripsi, sekitar 80-90 % mahasiswa terlihat sangat gagap dalam mengerjakan tugas akhir mereka.

 

Organisasi seperti hanya sebagai wadah berkreasi di wilayah non akademik, ataupun akademik dalam kadar formalitas. Seperti berorganisasi sebatas menjalankan proker, berorganisasi dalam arus politik, atau lainnya. Inilah kondisi PMII secara umum hari ini, sebuah dilema yang sangat mendasar pada sebagian kader pembelajar tentang bagaimana harus memposisikan diri dalam organisasi.

 

Alih-alih menata kurikulum materi kaderisasi sesuai kultur masing-masing lembaga, mendapatkan ruang ideal untuk mengembangkan potensi belajar saja rasanya sangat sulit. Kesibukan lain sering kali menjadi dalih dari lalainya tanggung jawab intelektual sebagai mahasiswa khususnya kader PMII.

 

Oleh karenanya, tulisan ini seyogyanya menjadi bahan refleksi dari kondisi yang teramat problematis. Jangankan menghukumi Fardhu ‘Ain, sebatas Fardhu Kifayah saja rasanya teramat sulit untuk menjalankan kaderisasi Intelektual. Bagaimana esensi dari proses ingin didapat, jika apa yang hendak dikonsumsi masih dipilah-pilah.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar