Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
"Soe Hok Gie"
Di penghujung tahun 2019 sekaligus Pembuka tahun baru 2020 hampir dari seluruh dunia dibuat kacau oleh datangnya wabah yang hingga saat ini belum mampu terkendalikan. Korban yang berjatuhan akibat virus Covid-19 yang mematikan adalah sejarah penyakit paling ganas yang pernah hadir di satu tahun belakangan ini.
Kekacauan masyarakat akibat kehadiran Virus ini tidak hanya pada sisi Psikologis sepertinrasa takut akan penularan virus yang
mampu mengakibatkan kematian pada individu yang
terinveksi, melainkan pada seluruh lini dan lapisan masyarakat. Kekacauan tersebut tentu berangkat dari motif yang kompleks, problem
yang begitu rumit untuk di pecahkan sehingga masalah semakin membengkak dan kakekacauan kohesi sosial semakin tidak terelakan.
Sebut saja problem-problem akibat keganasan virus yang hingga saat ini masih menjadi polemik kita semua, mulai dari problem ekonomi yang kian sulit akibat begitu ketatnya aturan yang menjadi persempitan peluang penghasilan, problem lingkungan
yang dibatasi oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya yang berujung pembatasan gerak masyarakat dalam beraktivitas, pelarangan membuat kerumunan berupa penutupan beberapa tempat ibadah dan sekolah-sekolah justru berujung keributan sosial, serta ditambah sulitnya peserta didik di daerah-daerah plosok desa demi mengakses jaringan untuk keberlangsungan sekolah daring. Tentu hal-hal tersebut sangat memorable dalam ingatan kita semua.
Mari kita mengingat soal diskursus penanganan kasus Covid-19 oleh pemerintah pusat daerah, menyoal efektifitas kebijakan pembatasan sosial bersekala besar yang dikonfersikan oleh
presiden Jokowi per tanggal 31 Maret 2020 dengan berlandaskan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini adalah awal mula kemunculan masalah yang begitu pelik hingga saat ini.
Hal-hal yang menjadi buntut masalah adalah dimana masyarakat serba sulit untuk bepergian keluar kota untuk menjalankan aktivitasnya, ditambah kebijakan untuk tes Kesehatan berbentuk Rapid test/Swab test Virus Corona yang kita semua tau harga untuk mendapatkan semua itu tidaklah mudah dan tidak murah. Lagi-lagi problem berujung pada keluhan untuk mendapatkan hasil Kesehatan pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mungkin sampai disini dapat kita simpulkan secara seksama bahwa “respon pemerintah terhadap penanganan kasus ini perlu kita takar kembali keeektifitasanya sebab tidak semua kalangan butuh dengan hal tersebut !”.
Problem Memori kolektif
Hal-hal krusial yang perlu dicermati adalah menyoal pengentasan angka kemiskinan dan peningkatan sumber daya manusia yang lebih bermutu demi kemajuan
Indonesia mendatang. "Toh saya yakin, bahwa masyarakat tidak butuh edukasi Kesehatan, yang
mereka butuhkan adalah ekonomi yang setabil dan
negara yang sehat dalam menjalankan peraturan, kebijakan dan
hukum".
Menyoal kasus-kasus di tahun
2020 tentu tidak hanya menyoal ribuan bahkan jutaan angka kematian akibat Covid-19, melainkan
problem krusial yang terbilang funny yang diperbuat oleh
pemerintah kita sendiri. Mari kita ingat Kembali kasus-kasus di
tahun yang baru kita lewati satu tahun ini guna merefleksikan kembali
perayaan tahun baru kita semua yang membudaya dengan kembang api sertra kemruyuk bahagia diatas derita .
Pertama kita mulai dari konflik
Agrarian di sepanjang tahu (SPI) memberikan beberapa catatan terkait dengan kebijakan Pemerintah
Jokowi-Ma'ruf selama periode
2020. Catatan akhir tahun disusun berdasarkan
data-data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota
SPI, hasil investigasi,
informasi dari lembaga
lain, pengamatan, serta informasi dari
media massa.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih,
menyoroti masalah reforma agraria yang kembali menjadi sebuah program strategis nasional di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024. Alih-alih menjalankan reforma agraria, pemerintah justru mengesahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CiptaKerja)
dengan metode Omnibus Law, yang mengakibatkan perubahan besar dalam arah kebijakan pembangunan agraria di Indonesia.
Undang-undang yang
menyelipkan pasal controversial menjadi memori buruk jangka Panjang bagi umat manusia di Indonesia.
Konflik Agraria begitu mencuat di tahun 2020 dan mungkin akan belanjut ditahun 2021. Data yang
dihasilkan oleh SPI tercatat terdapat 37 kasus konflik agrarian yang
mencuat sepanjang tahun kemarin.
Wacana Konflik
Rentetan konflik Agraria yang masih terjadi ditengah pandemi covid-19 pun masih sangat banyak dan begitu kronik. Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat setidaknya ada Sembilan peristiwa penggusuran dan
kriminalisasi terjadi dalam kurun 2 Maret hingga hari ini.
Penggusuran, penanganan represif, intimidasi,
ancaman, dan kriminalisasi terhadap masyarakat di perdesaan masih berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19 adalah bukti bahwa 2020 penuh dengan sejarah luka.
Kasus-kasus penggusuran dan
kriminalisasi ini terjadi di pelbagai daerah, dari Sumatera Utara hingga
Sulawesi Selatan. KPA pun menilai praktik-praktik tersebut kian mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan pangan Indonesia. Secara lengkap, berikut Sembilan kasus agraria yang terjadi selama satu bulan terakhir menurut data KPA.
Pertama Pada 2 Maret 2020, petani penggarap di Soppeng, Natu
bin Takka, 75 tahun, dipanggil PolresWatan soppeng terkait tuduhan melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf b
Jo. Pasal 12 huruf b dan/atau pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 18 tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H). Ia dipanggil untuk member keterangan sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin.
Faktanya, pohonjati yang ditebang oleh Natu adalah pohon yang dia tanam sendiri di kebun miliknya yang berada di
Desa Ale Sewo, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Pada 3
April 2020, Natu bin Takka kembali dipanggil. Kali ini bersama anak dan kemenakannya, Ario
Permadi bin Natu (31) dan Sabang bin Beddu (47). Ketiganya memenuhi panggilan Polsek Soppeng pada hari Jumat, 3 April 2020.
Kali ini, ketiga korban terpaksa memenuhi panggilan. Pasalnya penyidik mengancam akan menjemput paksa jika tidak dipenuhi. Padahal, Natu dan
Sabang termasuk kedalam kelompok usia yang rentan terhadap serangan wabah.
Kedua Pada 7 Maret 2020, polisi menangkap James Watt, warga Kota waringin Timur (Kotim) atas tuduhan pencurian sawit di lahan sebuah perusahaan. Kasus ini merupakan dampak konflik agrarian antara warga dengan pihak perusahaan. Hasil tinjauan lapangan Panitia Khusus Perkebunan Besar Swasta (PBS) Kelapa Sawit dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kotim menunjukkan, perusahaan ditengarai melakukan penanaman di luar batas HGU. Dari 1.865,8 hektar total HGU perusahaan, 117 hektar berada di tanah masyarakat Desa Peyang, Kecamatan Telawang, Kotim.
Ketiga Pada 18 Maret 2020, PTPN XIV mengeluarkan surat edaran meminta petani di Kampung Liku dengan, Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan meninggalkan tanah pertanian dan kampung mereka. Pihak PTPN mengklaim tanah tersebut masuk kedalam HGU mereka.
Sebagai catatan, lokasi ini sudah diusulkan kepada pemerintah melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk segera diselesaikan dan diredistribusi kepada petani. Tanah yang diklaim pihak PTPN tersebut dulunya merupakan tanah warga desa yang diambil secara paksa. Setelah itu, mereka menelantarkan hingga kembali diduduki dan ditanami warga sampai sekarang.
Keempat Pada 21 Maret 2020, PT AP dibantu aparat keamanan diduga menggusur warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Atas kejadian tersebut, dua orang petani, Suyadi, 40 tahun, dan Putra Bakti, 35 tahun, meninggal akibat serangan pihak perusahaan. Dua warga lainnya kritis akibat luka bacokan.
Kelima Pada 27 Maret 2020, aparat kepolisian membubarkan kemah warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kemah tersebut didirikan oleh warga sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas penambangan di Gungung Pitu dan Salakan oleh PT DS karena merusak lingkungan.
Keenam Pada 2 April 2020, tanah pertanian warga Desa Sedang, Kecamatan Suak, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan diduga digusur oleh PT MA dibantu oleh aparat kepolisian. Pihak perusahaan merobohkan pondok-pondok para petani. Sementara padi para petani yang baru panen dibuang oleh perusahaan.
Ketujuh Pada 3 Maret - 3 April 2020, PT SND dan aparat kepolisian diduga terus melakukan intimidasi dan merusak tanaman warga Kabupaten Luwu Timur. Dalam rentang waktu tersebut, aparat ditengarai terus menghancurkan tanaman-tanaman warga, sawit, kopi, dan sayur-sayuran.
Puncaknya, pada tanggal 30 Maret 2020, pihak perusahaan melaporkan warga ke polisi. Mereka menuduh warga sebagai pelaku matinya sawit milik perusahaan. Mereka juga mengancam akan membawa kasus ini keranah hukum. Per 4 April, intimidasi dari perusahakan oleh aparat keamanan di lapangan terus berlangsung.
Kedelapan Pada 26 Maret 2020, konflik tanah seluas 32 hektare dan penggusuran taman murni, dan Labi-labi, Alang-alang Lebar, Kota Palembang. Sembilan orang warga dijadikan tersangka, menyusul lima orang lainnya yang sudah ditahan pada Februari.
Kesembilan Pada 10 April 2020, PT WK ditengarai meracuni tamanan pertanian warga Muaro Kilis dan Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, dengan menggunakan drone. Tindakan ini terkait konflik agraria/sengketa lahan antara perusahaan dan warga.
Ini adalah bentuk dari wajah sepanjang tahun 2020 yang baru saja kita lewati malam tadi, kasus yang begitu banyak dan tentu membutuhkan jawaban serta solusi yang kontekstual untuk hari-hari ini. problem yang saya sebutkan diatas hanya sebatas data mentah dan tentu sangat sedikit dari sekian banya masalah yang ada di sepanjang tahun 2020.
Belum lagi jika kita mengingat soal problem sosial yang menyinggung SARA hari-hari ini, tentu tak terhitung dan dapat terbilang kronis keadaan Indonesia saat ini jika dipandang dari perspektif sosio-kultural. Seperti halnya kasus HAM yang belum tuntas hingga hari ini, nalar toleransi yang masih terbungkus nalar teologis menjadi bumbu keributan hingga hari-hari ini. konflik agama yang begitu banyaknya menjadi wajah buruk bagi Indonesia hari ini. ditambah problem antar golongan yang menanamkan benih pikiran fanatisme dan klaim kebenaran eksklusif adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia berada pada fase pemikiran primitive.
Ini bukan hujatan atau ujaran kebencian penulis. Mengapa penulis mencatat hal-hal demikian? Dikarenakan penulis ingin mencoba mengajak pembaca untuk mengingat Kembali sejarah yang baru saja terlalui dan mengajak untuk merawat ingatan agar kiranya mampu menjadi warning untuk berbenah diri. Penulis berharap, suatu saat nanti, Indonesia memiliki SDM yang mumpuni dan menjadi manusia yang humanis untuk menuntaskan problem hari-hari ini. dan untuk merayakan tahun baru 2021 penulis sengaja memberikan gambaran wajah satu tahun belakangan ini.
Selamat tahun baru 2021,
semoga ditahun ini negara Indonesia segera pulih dari pelbagai polemik yang ada, virus yang semoga segera hilang,
keadaan ekonomi yang membaik, dan masyarakat yang Makmur tanpa pengkerdilan ekonomi melalui sistem yang
kotor. Peserta didik yang cerdas dan menjadi tabungan untuk masa
depan Indonesia. Dan semoga pemerintah mampu menjalankan regulasi sesuai dengan khittah undang-undang
1945, pengentasan angka kemiskinan segera tercapai dan terbentuk negara yang berKeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia, Aamiin.
Writed By Rohimin
Ketua PMII Komisariat Tribakti 2020-2021
0 Komentar