FONDASI FILSAFAT MODERN OLEH RENE DESCARTES
Segala
perubahan dengan membangun sebuah sistem baru, mengganti sistem lama yang telah
usang tentu membutuhkan fondasi kokoh. Begitulah kira-kira analogi untuk
menggambarkan pemikiran dari seorang tokoh penting filsafat modern Rene
Descartes, seorang tokoh yang telah berhasil menancapkan fondasi awal pada
bangunan filsafat modern.
Pembaharuan
dari Abad pertengahan menuju modern bukan terjadi tanpa halangan, begitupun
yang dihadapi oleh Descartes dalam membangun sistem filsafatnya sendiri. Sistem
lama yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan masyarakat menjadi sebuah
problem penting untuk dipermasalahkan oleh filsafat, dan Descartes adalah salah
satu filsuf yang mempersoalkannya.
Sistem
filsafat sebelumnya telah merasuk dalam unsur-unsur terkecil dalam masyarakat,
kesadaran yang ditanamkan telah membatasi gerak pikir manusia untuk hidup bebas
dengan hak-hak pribadinya. Pengekangan tersebut tidak lain adalah bentuk dari
pembatasan pola pikir manusia dalam melihat realita, dengan ilmu pengetahuan
dan teologi menjadi satu dalam posisi sebagai abdi gereja untuk melegitimasi
kekuasaan.
Descartes
dengan formula yang ia tawarkan telah mengguncang sistem yang telah mapan
tersebut, sebagai respon dari berbagai problem yang hadir karena sistem gereja
abad pertengahan dianggap telah semakin menindas kehidupan manusia. Kesadaran
akan pentingnya berfikir bebas telah mengganti kesadaran keterbatasan manusia
abad pertengahan, dan ilmu pengetahuan mulai diagungkan sebagai pembebas
ketergantungan manusia terhadap agama dalam menghadapi problem kehidupan.
Sekilas Profil Rene Descartes
Rene
Descartes lahir di La Haye, Perancis pada tanggal 31 maret 1596, ia berasal
dari keluarga bangsawan yang kaya dan terpandang di kota tersebut. Sejak kecil
ibunya meninggal dunia, dan ayahnya bernama Joachim yang bekerja sebagai hakim
jarang mengurus Descartes kecil. Namun, meski dalam kondisi minim perhatian
dari kedua orang tuanya, Descartes sejak kecil telah hidup mapan dan diberikan
kebebasan untuk menjalani kehidupannya.
Di
usia 8 tahun, Descartes masuk ke sekolah Yesuit Collage Royal di La Flache. Di
sekolah tersebut, selain ia mempelajari teologi, Descartes juga mempelajari
ilmu-ilmu alam dan filsafat skolastik. Kepandaiannya dalam belajar telah tampak
oleh para yesuit yang mengasuhnya sejak kecil, bahkan Descartes memiliki sebuah
perlakuan istimewa dari para yesuitnya, bahwa hanya Descartes yang
diperbolehkan bangun terlambat daripada teman-temannya. Perlakuan istimewa ini
diberikan karena Descartes selalu mendapatkan ide-ide cemerlang ketika ia
terlelap dalam tidurnya.
Pada
umur 16 tahun, Descartes meneruskan belajar ilmu hukum di Poitiers. Kemudian
pada umur 19 tahun ia melanjutkan belajar matematika di Paris. Selain itu,
dengan kebebasan yang diberikan oleh ayahnya, Descartes muda memanfaatkannya
dengan melancong ke berbagai kota di eropa, selain untuk belajar dan dinas
militer, Descartes juga gemar mencari suasana sepi untung merenung atau
bermeditasi. Sebuah minat yang sangat berkaitan erat dengan filsafatnya
kemudian adalah bermeditasi, berfilsafat menurutnya adalah mendalami tentang
kehidupan dengan bermeditasi.
Descartes meninggal di Stockholm pada 1
November 1650 karena penyakit yang ia derita sejak muda. Ia meninggalkan
berbagai karya seperti Discourse de la
Methode (1637) dan Meditationes de
prima Philosophia (1641). Buah-buah pikirannya terkenal menyimpang dari
ajaran gereja saat itu, bahkan sejak muda Descartes telah mendapatkan kecaman
terutama dari para yesuit pengasuhnya.
Tentang
Kesangsian
Descartes
merupakan “bapak filsafat modern”, sebuah julukan yang diberikan sebagai hadiah
dari usahanya menanamkan kesadaran dalam filsafat. Descartes telah berhasil
memberikan sebuah formula baru yang tidak kita temui di masa sebelumnya, adalah
tentang kesadaran berfikir yang dilakukan untuk mencari hakikat kebenaran.
Kesadaran
tersebut tidak lain adalah pendasaran metodis dalam berfilsafat. Berfilsafat
menurut Descartes adalah mencari Fundamentum
certum et inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan kebenaran yang
kokoh) dengan menggunakan metode berfikir yang jelas dan bersih dari segala
bentuk keterbatasan.
Metode
yang dipakai oleh Descartes adalah metode kesangsian, yang berarti
mempertanyakan apapun dengan memberikan persoalan-persoalan metafisis untuk
mencari substansi kebenaran. Dengan ini Descartes mencoba meragukan apapun baik
yang bersifat fisik maupun metafisik, sampai ia mendapatkan substansi dasariah
atau sebuah fundamen yang tak tergoyahkan lagi kebenarannya.
Dalam
kegiatan mempertanyakan apapun, Descartes tidak semerta-merta melakukannya, ia
menggunakan prinsip Claire et Distincte (jelas dan terpilah-pilah). Prinsip ini
digunakan sebagai penyaring dari beragai hal yang disangsikan untuk mendapatkan
substansi yang ia cari.
Descartes
mengandaikan bahwa terkadang inderawi manusia dapat menipu pikiran, mungkin
saja iblis-iblis jahat mengalihkan pandangan kita untuk melihat kebenaran
objek. Analoginya seperti kita melihat gunung dari kejauhan tampak indah dengan
berbagai tumbuhan-tumbuhan hijau, namun ketika didekati ternyata gunung
tersebut terdapat banyak sampah yang mengotorinya.
Pengandaian
tersebut yang mendasari Descartes untuk benar-benar teliti dalam menyangsikan
segala sesuatu. Pemilihan yang ketat dan jelas harus dilakukan untuk
membersihakn tipuan iblis-iblis kepada indera manusia, sebab substansi
kebenaran yang dicari tidak akan ditemukan sebelum ia jelas dan terbedakan dari
apapun.
Tiga Substansi Sebagai Konsep Besar
Filsafatnya Descartes
Descartes
memulai kegiatan berfilsafatnya dengan menyangsikan segala sesuatu, baik itu
yang berupa fisik maupun metafisik. Kesangsian tersebut terus berlanjut sampai
ia benar-benar menghadapi kondisi dimana tidak ada lagi yang mampu disangsikan.
Menurutnya, setidaknya aku yang menyangsikan bukanlah hasil tipun. bahkan ia
sendiri yang menyangsikan dirinya sendiri bukanlah hasil tipuan apapun. Sebab
semakin ia menyangsikan, maka ia semakin mengada (exist).
Jadi,
meski dalam tipuan yang lihai sekalipun, setidaknya aku yang menyangsikan sudah
tidak dapat tergoyahkan lagi. Menyangsikan dalam artian Descartes adalah sama
dengan berfikir, maka kemudian Descartes membuat sebuah formulasi filosofisnya
yaitu “aku berfikir maka aku ada” (Cogito Ergo Sum).
Dari
sini Descartes kemudian menemukan sebuah kesimpulan awal yaitu “Cogito” atau
kesadaran diri. Sebuah kesadaran yang tidak ditemukan dengan sistem keilmuan
abad pertengahan, merupakan sebuah kesadaran yang didapatkan dari pikiran kita
sendiri.
Tidak
selesai sampai ia menemukan Cogito, Descartes kemudian melanjutkan sistem
filsafatnya dengan membedah lagi cogito. Pikiran menurut Descartes yaitu
sebagai idea bawaan manusia sejak lahir, ia menyebutnya sebagai “res cogitans”. Namun yang kemudian
menjadi refleksi oleh Descartes bahwa realitanya manusia tidak hanya terdiri
dari pikiran atau cogito saja, terdapat tubuh yang bisa diraba dan dirasakan
wujudnya. Menurut Descartes mungkin saja ini kesan yang menipu, tapi ternyata
kesan tubuh ini ada sejak lahir, maka juga termasuk ide bawaan.
Dari
refleksinya diatas kemudian Descartes menemukan sebuah substansi bau yang ia
namakan sebagai “keluasan” atau “res
extensa”. Substansi ini didapatkan dari refleksi keterbatasan tubuh
manusia, ia memandang tubuh manusia sebagai sebuah benda mati yang berbeda
dengan cogito, tubuh manusia dipandang seperti halnya benda-benda mati lain
yang tidak memiliki kehidupan. Oleh karenanya, Descartes kemudian melihat
adanya keluasan benda, yaitu ide tentang ketidak sempurnaan dan keterbatasan benda
mati tersebut.
Dari
ide tentang keluasan yang terbatas tersebut, akhirnya Descartes berpendapat
bahwa jika terdapat ide tentang keterbatasan maka terdapat pula ide tentang
yang tak terbatas. Disini Descartes menamakannya sebagai Allah, yang merupakan
substansi terakhir dari filsafatnya Descartes.
Dari
ketiga substansi tersebut, Descartes mengungkapkan bahwa ketiganya merupakan
idea bawaan yang telah ada pada diri
manusia sejak lahir. Bahwa setiap manusia memiliki kesadaran berfikir atau
cogito, kemudian cogito yang terbungkus materi berupa tubuh diyakini sebagai
dualism yang berbeda, maka kemudia adanya cogito terbungkus materi yang mana
materi tersebut tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa cogito, dan ide tentang
materi ini juga merupakan ide bawaan yang dinamakannya sebagai idea keluasan.
Keterbatasan keluasan pada akhirnya diatasi dengan adanya ide tentang
kesempurnaan yang dinamakan sebagai Allah, dan ide ini juga termasuk ide
bawaan. Dari ketiga ide tersebut, Descartes akhirnya menyimpulkan bahwa cogito,
keluasan dan Allah merupakan substansi dasariah.
Perkembangan Konsep Cogito Dan
Keluasan
Dalam
wilayah epistemologi, Descartes setidaknya telah memberikan sebuah patokan
sekaligus pijakan yang di kemudian hari terejawantahkan dalam berbagai bentuk
pemikiran yang lebih kompleks. Dengan berbagai problem mendasar yang tecipta
dari konsep tersebut, namun Descartes telah berhasil memberikan sebuah
formulasi awal untuk menghancurkan sistem keilmuan abad pertengahan yang
dianggap usang.
Dari
konsep cogito, Descartes telah memberikan sebuah konsep tentang kesadaran
berfikir yang tidak ditemukan pada orang-orang abad pertengahan, bahkan konsep
ini ditentang karena sangat mengancam kemapanan hegemoni keilmuan dan kesadaran
yang dilakukan oleh pihak gereja abad pertengahan.
Dengan
kesadaran berfikir yang dibangun oleh Descartes, seolah telah menancapkan
sebuah prinsip sebagai ciri dasar dalam konsep filsafat modern, yaitu tentang
subjektivitas dan kritis. Kedua ciri tersebut kemudian berkembang dengan lebih
radikal dan kompleks, tidak hanya pada para pemikir atau filsuf, bahkan
kesadaran masayarakat umum yang mulai terbentuk untuk befikir.
Selain
itu, konsep keluasan yang dalam filsafatnya Descartes berkembang pada konsep
dualisma jiwa dan badan juga ikut andil dalam perkembangan keilmuan modern di
kemudian hari. Konsep dualisme Cartesian yang menganggap tubuh manusia seperti
halnya sebuah mesin yang berjalan otomatis dengan jiwa sebagai pengontrolnya.
Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana problem-problem yang timbul dari filsafatnya Descartes? Jawaban dari pertanyaan ini akan terjawab pada pembahasan tokoh-tokoh berikutnya, silakan terus mengikuti untuk mengetahuinya.
Oleh: Maulana A.A
(Wakil Ketua Komisariat PMII Tribakti 2020-2021)
0 Komentar