• Apr 18, 2025

Materi ASWAJA


AHLUSUNAH WAL JAMA’AH1

Muhammad Diak Udin2


 

 

A.     Sejarah

Aswaja adalah postulat dari ungkapan Rasulullah saw., “Ma ana ‘alaihi wa ashabi” . Berarti, golongan aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah beserta sahabatnya. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat . Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali. Strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas, mengadakan Tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari         yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik. Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Pada tahap ini (terjadi sekitar tahun 40H) setidaknya umat Islam

terpecah menjadi tiga golongan yaitu Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah.

 

 


1 Disampaikan dalam acara Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat Tribakti pada 29 September 2020.

2 Alumni PMII Mapaba tahun 2007.


Semakin lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah. Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik, terlebih masa Yazid bin Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah. Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun juga.

Beberapa kalangan yang dipelopori oleh cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.

Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terlebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah


sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.

Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H 324H, 64 tahun). Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.

Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.

Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.


B.      Aswaja sebagai Madzhab

AhlussunnahWal Jamaah yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan dan Abu Mansyur Al-Maturidi, secara khusus mempunyai pemikiran-pemikiran sebagai reaksi terhadap ajaran-ajaran Mu’tazilah, dan kemudian pemikiran ini menjadi doktrin di dalam aliran ini. Di antara pemikirannya adalah mengenai sifat Allah, al-Qur’an, melihat Tuhan di akhirat, kekuasaan mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan, mengenai perbuatan Tuhan, mengenai perbuatan manusia dan perbuatan dosa besar. Akan tetapi secara umum, doktrin Ahlussunah wa al- jama’ah meliputi tiga aspek, yaitu aspek aqidah/tauhid, syari’ah/fiqh dan tasawuf. Sebagaimana penjelasan dibawah ini.

1.       Aspek Aqidah

Dimensi tauhid atau yang lebih dikenal dengan sebutan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terbagi atas beberapa bagian yang terkandung dalam arkan al-iman yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, qada dan qadar -Nya. Dimensi akidah, Ahlusunnah wal jama’ah mengikuti Imam Abu Hasan dan Abu Mansyur Al-Maturidi

 

2.       Aspek Syari’ah ( Fiqh )

Dalam bidang syari’ah Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan 4 (empat) sumber yang bisa dijadikan rujukan bagi pemahaman keagamaannya, yaitu al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ (kesepakatan Ulama), dan Qiyas, dari keempat sumber yang ada, al-Qur’an yang telah dijadikan sebagai sumber utama. Ini artinya bahwa apabila terdapat masalah kehidupan yang mereka hadapi, terlebih dahulu harus dikembalikan kepada al-Qur’an sebagai pemecahannya. Dalam bidang Fiqih aswaja mengikuti empat madzhab yaitu, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Hanafi.

 

3.       Aspek Tasawuf

Aspek tasawuf adalah aspek yang berkaitan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, memantapkan keimanan, mengkhusu’kan ibadah dan memperbaiki akhlak. Pada dasarnya ajaran tasawuf merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat kepada Allah dan terjauhkan dari pengaruh selain Allah. Jadi tujuan tasawuf adalah mencoba sedekat mungkin kepada Allah SWT dengan melalui proses yang ada dalam


aturan tasawuf. Dalam bidang tashawuf, aswaja mengikuti Imam Al Ghozali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy.

 

C.     Aswaja Sebagai Manhaj

Ada empat ciri atau karakter utama ajaran Ahlussunah wa al-jama’ah sebagai manhaj al-fikr atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

1.       Tawassuth (Moderat)

Tawassuth, adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah Islam bisa diterima di segala lapisan masyarakat. Dengan sikap ini, maka seseorang tidak terlalu keras dan tidak sembrono dalam melakukan tindakan baik ibadah maupun bermasyarakat.

 

2.       Tawâzun (Berimbang)

Tawâzun, adalah sikap seimbang dalam segala hal, baik dalam ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT (Hablum Min Allah) ataupun hubungan dengan sesama (Hablum min An-Nas). Termasuk juga keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal (Aqli) dan dalil dari Syara’ (Naqli). Karakter tawazun (keseimbangan) sangat penting dalam upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban setiap manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan makhluk yang lain seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya. Dalam sikap ini, di harapkan seseorang itu dapat imbang antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Jadi tidak berat sebelah yang menjadikan kita lalai.

 

3.       Ta’âdul (Netral dan Adil)

Ta’âdul ialah sikap adil, jujur dan apa adanya Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu menegakkan dan menjalankan keadilan kepada siapapun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun, dengan pertimbangan kemaslahatan. Dengan sikap Ta’adul di harapkan dapat menjadi masyarakat yang adil, makmur, sejahtera.

 

4.       Tasâmuh (toleran)


Tasâmuh yaitu sikap toleransi, yang menghargai satu dengan lainnya. Beberapa bentuk sikap tasamuh, yaitu: Menghargai perbedaan pendapat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam; Menerima dan mengembangkan segala bentuk kebudayaan yang paling baik menurut ajaran Islam, tanpa melihat dari mana datangnya; Bersikap toleran dalam pergaulan baik antara sesame manusia maupun sesame bangsa; Membangun pergaulan antar sesama manusia dengan dasar saling mengerti dan saling menghormati.

 

D.     Prinsip-Prinsip Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) Sebagai Manhaj al-Fikr

1.       Aqidah

Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkaitan dengan ihwal eksistensi Allah SWT. Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan menyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebagai utusannya. Dalam doktrin ini umat manusia harus menyakini bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risaah (wahyu) untuk seluruh alam. Pilar yang ketiga adalah al- Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapatkan imbalan sesuai amal dan perbuatannya.

 

2.       Bidang Sosial-Politik

a.                  Prinsip Syura (Musyawarah)

Syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah ( iman billah ), tawakal, menghindari dosa-dosa besar ( ijtinab al-kaba'ir ), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakanakan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

 

b.                 Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat ) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam ) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin.


c.                  Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al-Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer bagi setiap insan.

 

1)                Hifzud an-Nafs , yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).

2)                Hifzu ad-Din , yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.

3)                Hifzdhu al-Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.

4)                Hifzdhu an-Nasl , yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.

5)                Hifzdhu al-'lrdh , yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

 

d.                 al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Pada ptinsip al-Musawah menekankan pada aspek anti diskriminasi. Artinya bahwa tidak ada perbedaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, manusia dengan manusia yang lain.

 

3.       Bidang Istinbat Hukm (Pengambilan Hukum Syariah)

Dalam bidang Istinbat }Hukm ini menggunakan empat sumber hukum yaitu, al- Qur’an, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Istinbat Hukm, ini tidak ada pertentangan dalam ulama fiqh . Sebagai sumber naqli posisinya tidak diragukan lagi. Al-qur’an merupakan sumber tertinggi dalam Islam.

 

4.       Bidang Tasawuf

Imam al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimudengan-Nya”. Tasawuf adalah engkau semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun.


Posting Komentar

0 Komentar