AHLUSUNAH WAL JAMA’AH1
Muhammad Diak Udin2
A. Sejarah
Aswaja adalah postulat dari ungkapan Rasulullah saw., “Ma ana ‘alaihi wa ashabi” . Berarti, golongan aswaja adalah golongan yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana diajarkan dan diamalkan Rasulullah beserta sahabatnya. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat . Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.
Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali. Strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas, mengadakan Tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik. Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Pada tahap ini (terjadi sekitar tahun 40H) setidaknya umat Islam
terpecah menjadi tiga golongan yaitu Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah.
![]() |
1
Disampaikan dalam acara Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Komisariat
Tribakti pada 29 September 2020.
2
Alumni PMII Mapaba tahun 2007.
Semakin lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok
Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan
Abdullah ibn Thalhah. Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup
besar dalam ajaran Islam. Hal ini
terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan
politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik, terlebih
masa Yazid bin Muawiyah.
Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan
sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota
keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya
lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju
Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah. Bagaimanapun juga, Husein
adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak
terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.
Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah
menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada
takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan
untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa
bisa dicegah oleh siapapun juga.
Beberapa kalangan yang dipelopori oleh cucu Ali Bin Abi
Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan
mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis
bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan
segalanya. Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya,
pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus
dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik,
ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan
semuanya. Mereka ini tidak sendiri,
karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang
sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka
menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia
pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah. Lambat
laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terlebih karena
pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan
membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi
sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok
ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah
Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah
sahabat
yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. Pada tataran
selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto
sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka
mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian
mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika
dalam setiap ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara di mana
setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran pemikiran
(manhajul fikr) umatnya. Beberapa
peristiwa sampai pada pembunuhan terhadap setiap warganya yang tidak
menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang
mulanya pengikut Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau
aliran baru dengan semangat “maa anna
alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H – 324H, 64 tahun). Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi
bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau Mu’tazilah,
tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi Muhammad
untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah
wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir.
Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia
punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya
kehendak sepenuhnya (free will) dan
mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa
manusia punya kehendak, tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung
semangat “ma’ana alaihi wa ashabihi”, yaitu
Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya dikenal dengan Al Maturidiyah.
Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal sebagai ulama besar yang
memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah
derasnya arus Islam berwawasan Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak
membingungkan umat Muslim.
B.
Aswaja sebagai Madzhab
AhlussunnahWal Jamaah yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan
dan Abu Mansyur Al-Maturidi, secara khusus mempunyai
pemikiran-pemikiran sebagai reaksi terhadap
ajaran-ajaran Mu’tazilah, dan kemudian pemikiran ini menjadi doktrin di dalam
aliran ini. Di antara pemikirannya adalah mengenai sifat Allah, al-Qur’an,
melihat Tuhan di akhirat, kekuasaan mutlak Tuhan dan keadilan
Tuhan, mengenai perbuatan
Tuhan, mengenai perbuatan manusia dan perbuatan dosa
besar. Akan tetapi secara umum, doktrin Ahlussunah wa al- jama’ah meliputi tiga
aspek, yaitu aspek aqidah/tauhid, syari’ah/fiqh dan tasawuf. Sebagaimana
penjelasan dibawah ini.
1. Aspek Aqidah
Dimensi tauhid atau yang lebih dikenal dengan sebutan
aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terbagi atas beberapa bagian yang terkandung
dalam arkan al-iman yaitu iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, qada dan qadar -Nya. Dimensi akidah, Ahlusunnah
wal jama’ah mengikuti Imam Abu Hasan dan Abu Mansyur Al-Maturidi
2.
Aspek Syari’ah ( Fiqh )
Dalam bidang syari’ah Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan 4
(empat) sumber yang bisa dijadikan rujukan bagi pemahaman keagamaannya, yaitu
al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ (kesepakatan Ulama), dan Qiyas, dari keempat
sumber yang ada, al-Qur’an yang telah dijadikan sebagai sumber utama. Ini
artinya bahwa apabila terdapat masalah kehidupan yang mereka hadapi, terlebih
dahulu harus dikembalikan kepada al-Qur’an sebagai pemecahannya. Dalam bidang
Fiqih aswaja mengikuti empat madzhab yaitu, Imam
Maliki, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Hanafi.
3. Aspek Tasawuf
Aspek tasawuf adalah aspek yang berkaitan upaya mendekatkan
diri kepada Allah SWT, memantapkan keimanan, mengkhusu’kan ibadah dan
memperbaiki akhlak. Pada dasarnya ajaran tasawuf merupakan bimbingan jiwa agar
menjadi suci, selalu tertambat kepada Allah dan terjauhkan dari pengaruh selain
Allah. Jadi tujuan tasawuf adalah mencoba sedekat mungkin kepada Allah SWT
dengan melalui proses yang ada dalam
aturan
tasawuf. Dalam bidang tashawuf, aswaja mengikuti Imam Al Ghozali dan Imam Abu
Qasim Al-Junaidy.
C.
Aswaja Sebagai Manhaj
Ada empat ciri atau karakter utama ajaran Ahlussunah wa
al-jama’ah sebagai manhaj al-fikr atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu
diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:
1.
Tawassuth (Moderat)
Tawassuth, adalah sikap
tengah-tengah atau sedang
di antara dua sikap, tidak terlalu
keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah
Islam bisa diterima di segala
lapisan masyarakat. Dengan
sikap ini, maka seseorang tidak terlalu keras dan tidak sembrono dalam melakukan
tindakan baik ibadah maupun bermasyarakat.
2.
Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun,
adalah sikap seimbang dalam segala hal, baik dalam ibadah yang berhubungan
langsung dengan Allah SWT (Hablum Min
Allah) ataupun hubungan dengan sesama (Hablum min An-Nas). Termasuk juga
keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal (Aqli) dan dalil dari Syara’ (Naqli).
Karakter tawazun (keseimbangan) sangat penting dalam upaya menyeimbangkan
antara hak dan kewajiban setiap manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan makhluk
yang lain seperti
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya. Dalam sikap ini, di harapkan
seseorang itu dapat imbang antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Jadi
tidak berat sebelah yang menjadikan kita lalai.
3.
Ta’âdul (Netral dan
Adil)
Ta’âdul
ialah sikap adil, jujur dan apa adanya Ahlussunnah
Wal Jama’ah selalu menegakkan dan menjalankan keadilan kepada siapapun,
dimanapun, dan dalam kondisi apapun, dengan pertimbangan kemaslahatan. Dengan
sikap Ta’adul di harapkan dapat menjadi masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera.
4. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh
yaitu sikap toleransi, yang menghargai satu dengan lainnya. Beberapa bentuk
sikap tasamuh, yaitu: Menghargai perbedaan pendapat selama tidak bertentangan
dengan prinsip ajaran Islam; Menerima dan mengembangkan segala bentuk
kebudayaan yang paling baik menurut ajaran Islam, tanpa melihat dari mana
datangnya; Bersikap toleran dalam pergaulan baik antara sesame manusia maupun
sesame bangsa; Membangun pergaulan antar sesama manusia dengan dasar saling
mengerti dan saling menghormati.
D.
Prinsip-Prinsip Ahlussunah Wal
Jamaah (Aswaja) Sebagai Manhaj al-Fikr
1.
Aqidah
Dalam bidang Aqidah,
pilar-pilar yang menjadi
penyangga aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah
(Ketuhanan), berkaitan dengan ihwal eksistensi Allah SWT. Pilar
yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu
dengan menyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul
sebagai utusannya. Dalam doktrin ini umat manusia harus menyakini bahwa
Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risaah
(wahyu) untuk seluruh
alam. Pilar yang ketiga adalah
al- Ma’ad, sebuah keyakinan
bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap
manusia akan mendapatkan imbalan sesuai amal dan perbuatannya.
2. Bidang Sosial-Politik
a.
Prinsip Syura (Musyawarah)
Syura
merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah ( iman billah ), tawakal,
menghindari dosa-dosa besar ( ijtinab
al-kaba'ir ), memberi
ma'af setelah marah,
memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain
sebagainya. Seakanakan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat
Iman dan Islam.
b.
Al-'Adl (Keadilan)
Menegakkan
keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat )
dan para pemimpin pemerintahan (hukkam ) terhadap rakyat dan umat yang
dipimpin.
c.
Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan
dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan
hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al-Khams
(lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer bagi setiap insan.
1)
Hifzud an-Nafs , yaitu jaminan atas
jiwa (kehidupan) yang dimiliki warga negara (rakyat).
2)
Hifzu ad-Din , yaitu jaminan kepada
warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya.
3)
Hifzdhu al-Mal, yaitu jaminan
terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
4)
Hifzdhu an-Nasl , yaitu jaminan
terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
5)
Hifzdhu al-'lrdh , yaitu jaminan
terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap
warga negara.
d.
al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Pada
ptinsip al-Musawah menekankan pada aspek anti diskriminasi. Artinya bahwa tidak
ada perbedaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, manusia dengan
manusia yang lain.
3. Bidang Istinbat Hukm (Pengambilan Hukum Syariah)
Dalam bidang Istinbat }Hukm ini menggunakan empat sumber
hukum yaitu, al- Qur’an, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Al-Qur’an sebagai sumber
utama dalam Istinbat Hukm, ini tidak ada pertentangan dalam
ulama fiqh . Sebagai sumber naqli posisinya tidak diragukan lagi. Al-qur’an
merupakan sumber tertinggi dalam Islam.
4. Bidang Tasawuf
Imam al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi menjelaskan
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan
dirimudengan-Nya”. Tasawuf adalah engkau semata-mata bersama Allah SWT tanpa
keterikatan apapun.
0 Komentar