Getun, dan Sektarianisme Gerakan


Dear
Ngaktipis-ngaktipis yang saya sayangi
Masih ingatkah kamu perjuangan kita
Yang saat itu menghujat kaum rebahan senja
Masihkah gejolak jiwa mu mak srengg ketika melihat durjana
Di dunia yg krisis etika dan ramai sosialita
Kita sudah tidak lagi mampu bercengkrama karena ulah senorita, eh senior kita

Beh, haruskah mengulang kembali kata mahasiswa dengan segala hal ideal yang wajib ditempel eratkan pada frasa mahasiswa? Saya rasa itu hanya buang-buang waktu, gak penting, dan sering diskip.

Sebenarnya tulisan ini hanya bermaksud mengajak pembaca dalam ruang pribadi yang sering kita sebut logika, jangan dibantah jika taraf logika setiap orang tidak sama. Sek to beh.

Ada secuil masalah atau ada segunung masalah -tergantung kalian mau yang mana- yang mendarah daging dalam dunia mahasiswa hari ini, -meskipun sejak dulu- yang bisa saya sebut gerakan fragmentasi dan gerakan sektarian. Melihat fenomena seperti ini, saya lebih suka menyebut 'Fragmen-sektereanisme'.

Ini menjadi menarik ketika dalam fragmen-fragmen kecil juga sekte-sekte mungil memiliki tujuan yang secara substansial sama. Menciptakan kebaikan dan memberangus ketidakbaikan, tentu yang dimaksud adalah kebaikan secara umum bukan kamu terlalu baik untuk ku, beh.

Fragmen-sektarianisme muncul karena ada ketidak sepakatan dalam hal teknis dan ideologis terkait melaksanakan kebaikan tadi. Apalagi semua merasa bahwa gagasan yang diusung dari fragmen-fragmen kecil yang nggedabrus dan sarat etika adalah idealnya kebaikan, wahyu bagi mereka yang tertindas dan produk suci dari gejolak pemikiran logika -yang penuh sawang. Sehingga produk gagasan yang sedemikian menumpuk dan harusnya mampu dikonsumsi masyarakat secara bebas, menggembirakan bak wahyu menjadi elitis dan sarat etika. 

Model pikiran seperti  ini, akan menjadikan kiamat semakin dekat ketika dijadikan ajang untuk jualan politik sekaligus memilah-memilih siapa golongan kami untuk menempati jabatan-jabatan atau posisi-posisi strategis yang mampu dikeruk. Jika benar ini yang terjadi, sepurane lur pancen bener.

Sedikit lagi menuju posisi getun dalam dunia kemahasiswaan. Fenomena getun sering dialami mahasiswa dalam organisasi sektarian ketika masuk bledeng dalam jiwanya berteriak "Inilah aku wahai masyarakat aku siap mengabdi dan  menjadi kendaraan setia kepentingan umat", pret. 

Tapi setelah mereka merasakan kejenuhan dalam organ yang sibuk dalam memperbanyak manusia, tanpa rasa tanggung jawab menjerumuskan dalam dunia yang sebenarnya luas tapi dibikin sempit dan ketat, dari sini lah dosa sosial dimulai. 

Ketika proses penjaringan masa, yang harusnya bertujuan untuk membangun kesadaran baru manusia pasca ospek, dan memberikan gagasan baru itu ternyata diam-diam menumbuhkan kebencian yang mewariskan kebobrokan dan melestarikan kedunguan. Beh tegang aku.

Diiringi menyusutnya minat dalam berkumpul dan berorganisasi masih saja sekte kecil tadi ngotot dan berperilaku ketat seperti sudah punya kader ribuan, padahal gak -toh yag kadernya ribuan yo penggawean e mek ngono tok. Harusnya gimana bro? Sepurane lur aku mek pengen maido.

Dalam menyikapi hal seperti ini -memecahkan tradisi fragmentasi dan sektarian secara radikal- ada beberapa bahan refleksi dan aksi menurut saya. 

Dalam pandangan saya, perkumpulan bukan lagi membahas atau membicarakan identitas, melainkan lebih ke aspek kontinyuitas untuk membangun gerakan yang bebas nilai. Buntutnya person mampu memilih apa yang menjadi kesukaannya dan mau kemana dia mengabdikan jiwanya. Disebut kesukaan karena pada taraf ini manusia sudah beranggapan bahwa pengabdian dan pembelaan adalah suatu hal yang 'mengasyikkan' bukan sebagai beban yang selama ini mereka alami, sehingga fenomena getunisme tadi hilang.

Dalam kerangka refleksi, kebanyakan kader sudah selesai. Meskipun sudah selesai, tapi masih malu-malu kucing untuk merangkul temannya yang sadar menuju kerangka aksi yang memaksa mereka untuk mengiklaskan kenikmatan sesaat yang daya jerumusnya sedalam palung marijuana. Eh, mariana.

Saya menyarankan, untuk membaca tulisan sampah ini di ruang yang sepi dan penuh keikhlasan. Jika sekarang membaca dalam keramaian, tolong nanti baca ulang di tempat yang sunyi dan penuh perenungan. Sekali lagi, mengaca boleh tapi jangan terlalu lama, nanti getunmu muncul kembali.

Jangan bilang "Halah iku lek gonmu, gonku lo gak".

Kacung, Wakil Komis 2019-2020

Posting Komentar

0 Komentar