Marlina, judul film yang disutradarai oleh Mouly Surya tidak hanya menampikan keeksotisan sabana Sumba saja, tapi juga nilai-nilai feminis terdapat dalam film tersebut.
Marlina sendiri merupakan tokoh utama yang menjadi korban kebiadaban sekomplotan perampok. Tidak hanya hewan ternaknya yang dirampok, tapi harga dirinya juga turut menjadi korban perampokan. Meskipun Marlina sudah menjadi korban, tapi dia tetap berani untuk melawan para perampok tersebut.
Selain Marlina ada juga tokoh bernama Novi. Novi sendiri merupakan sosok perempuan yang sedang hamil sembilan bulan. Meskipun di dalam cerita tersebut dia sempat jatuh berkali-kali, tapi dia tetap tegar sampai pada waktu kelahiran bayinya. Maksud dari cerita ini, sutradara ingin menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai kekuatan untuk menjalankan kehidupannya.
Dari cerita singkat tersebut bisa dilihat bahwa sebenarnya perempuan bukanlah semata-mata menjadi objek seksual oleh para lelaki, tapi perempuan juga bisa menjadi subjek untuk dirinya sendiri. Sifat lemah juga bukanlah pelabelan stereotip yang mutlak terhadap perempuan, hal ini bisa dilihat dari cerita film tersebut bahwa dua tokoh tersebut adalah orang yang kuat. Jika kita mengaca pada kehidupan sehari-hari, tidak jarang laki-laki juga mempunyai mental atau sikap lemah.
Pandangan seperti ini -ungkapan kalau perempuan lemah- pada umumnya masih sangat terasa di pedesaan. Sehingga tidak jarang perempuan desa dipekerjakan hanya sebatas urusan domestik saja. Baik seperti memasak, mencuci, maupun mengurusi anak. Jika perempuan keluar dari ruang tersebut, masyarakat akan menganggap sesuatu tersebut merupakan hal yang aneh dan tabu.
Selain itu, perempuan juga tidak sampai beranjak pada pengambilan keputusan dalam berbagai urusan rumahtangga. Jika ada berbagai permasalahan, baik yang muncul dari internal maupun eksternal rumahtangga, pasti berujung pada keputusan laki-laki atau suaminya. Padahal, sebenarnya perempuan juga mempunyai pendapat untuk menentukan hidupnya.
Tidak hanya pada pedesaan, hal yang lebih sepele dalam ketidakadilan gender masih sering terjadi dilingkungan kita. Yang sering terjadi adalah 'Catcalling', yaitu pelecahan bersifat verbal yang didasari oleh jenis kelamin, fisik, maupun sifat seseorang. Biasanya bentuk pelecehan seperti ini berupa bersiul, menggojlok, maupun memanggil dengan nada maupun sebutan diskriminatif.
Meskipun wacara tentang keadilan gender sudah melebar di kalangan akademis, tidak sedikit wacana ini hanya sebatas pengetahuan saja, tidak sampai mengamalkannya. Mungkin perilaku ini bisa dilihat di tempat tongkrongan mahasiswa yang bertempatan dengan jalan lewat mahasiswi. Perilaku seperti ini sangatlah disayangkan, apalagi kampus yang menjadi almamater berbasis agama.
*Tulisan ini merupakan sedikit review dari nonton film dan diskusi film tersebut
1 Komentar
Lanjutkan anak muda
BalasHapus