Catatan
ini bukan merupakan kondisi objektif. Catatan ini diketik dalam keadaan sadar.
Dan kesadaranku ini yang membuat keobjektifan tulisan yang saya tulis ini
menjadi tidak ada. Karena semua yang mengharuskan objektif hanyalah memaksa
saya untuk menanggalkan kesadaran saya, dan itu tidak bisa saya lakukan. Maka,
saya menegaskan bahwa dalam tulisan ini, saya menuliskan sekaligus menceritakan
tentang kondisi PC PMII Kediri menurut subjek penulis.
Kondisi
dan tradisi yang penuh gejolak merupakan hal wajar dalam kehidupan. Juga
menjadi bukti keberadaan bagi kehidupan itu sendiri. Tak lain halnya dengan PC
PMII Kediri. Berbagai gejolak tak pernah luput dari perjalanannya. Gejolak itu
muncul, dan terus muncul. Kemunculannya bisa saja dari internal, juga bisa dari
eksternal. Yang saya maksud internal di sini adalah permasalahan atau gejolak
yang muncul dari dalam kepengurusan. Sedangkan eksternal adalah sebaliknya.
Baik dari luar organisasi PMII (saya sebut ekstra PMII), maupun dari dalam
organisasi PMII (saya sebut intra PMII) tataran di bawah atau di atas PC PMII.
Berawal
dari permasalahan yang kayaknya sering disepelekan itu, muncullah kemudian
permasalahan-permasalahan baru yang lebih besar. Yang, imbasnya tak lain
adalah pada program-program kerja
kepengurusan dan terakhir pada hubungan
timbal balik antara pengurus PC dan Komisariat yang secara struktural berada di
bawah tataran PC.
Masing-masing
pengurus mempunyai latar belakang komisariat yang berbeda. Mereka membawa
kepentingan yang berbeda pula. Selain itu, mereka juga tersibukkan dengan
aktifitas pribadinya. Totalitas dalam organisasi menjadi tersampingkan. Sampai
pada saat tertentu, tujuan dan cita-cita mulia organisasi tersampingkan.
Dengan
pola demokrasi yang dipegang oleh organisasi PMII, maka sesungguhnya harus bisa
menerapkan seluruh nilai yang terdapat dalam konsep demokrasi. Seluruh suara
dari ke semua harus diakomodir dengan baik. Selain itu harus ada pihak yang
menjadi penengah di antara berbagai macam perbedaan suara tersebut. Tidak
lantas kemudian, pihak yang menjadi penengah itu malah mempunyai suara sendiri
atas kepentingannya juga. Jadi, jika menerapkan sistem demokrasi, sudah menjadi
keharusan bahwa seluruh konsep demokrasi harus diterapkan dengan baik. Dengan
begitu setidaknya bisa meminimalisir terjadinya kondisi rumit dan perpecahan.
Jangan
salah, jika pola dan nilai demokrasi itu tidak diterapkan secara keseluruhan,
maka hasilnya adalah seperti yang dikatakan John Locke yang seecara tegas
menentang demokrasi. Dengan argumen bahwa sejatinya manusia itu memiliki sikap
egoistik. Manusia itu sendiri adalah homo
homoni lupus yang secara alamiyah berkehendak untuk memenuhi kenikmatan
hidupnya. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa perselisihan antar pengurus terus
dan terus terjadi dan ini tidak bisa dihindari. Menurut saya, sering
bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan menjadi wajib adanya. Agar
kepemimpinan ini tidak terkesan monarki. Walaupun semua permasalahan tidak
niscaya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, namun setidaknya ini bisa
menghindarkan dari persoalan yang tidak diinginkan dari masing-masing pengurus.
Lalu
timbul pertanyaan baru, bisakah itu berjalan dengan semestinya? Saya menjawab
bisa. Tentu dengan catatan bahwa setiap pengurus telah memiliki jiwa Biru-Kuning. Bukan hanya sebagai
simbolitas saja, melainkan sudah mendarah daging dalam tubuh pengurus. Bukan
hanya dibuktikan dengan sertifikat dan kaos yang berlogo PMII belaka, namun
Loyalitas terhadap organisasi nonsense.
Mungkin
kita lupa dengan letak kecerobohan kaum Empiris yang hanya mengandalkan
Indrawinya untuk mendapatkan pengetahuan. Melupakan rasio, yang ternyata tak
kalah pentingnya dalam proses memperoleh pengetahuan. Melupakan jiwa sebagai
pengontrol etika dan politik manusia. Tak ubahnya Kader PMII masa kini yang
hanya mengandalkan simbolistiknya. PMII hanya dipahami melalui pengamatan indrawinya
saja. Bukan lagi dipandang dari ruh dan semangat pergerakannya. Walaupun ruh
dan semangat itu apriori, namun akan tampak jelas jika kita menggunakan
kacamata yang berbeda.
Nah, sekarang kalau kita tetap menginginkan jati diri PMII tumbuh subur di dalam jiwa tunas-tunas muda, tak lain dan tak bukan jiwa biru-kuning itu harus tumbuh subur dan berkembang dulu di dalam jiwa kita. Bukan hanya sekedar simbol, tapi memang sampai hakikat dan ma’rifatnya.[]
0 Komentar