Catatan Sang Pemberontak

Oleh: Isnan Elsam Muhammad


Catatan ini bukan merupakan kondisi objektif. Catatan ini diketik dalam keadaan sadar. Dan kesadaranku ini yang membuat keobjektifan tulisan yang saya tulis ini menjadi tidak ada. Karena semua yang mengharuskan objektif hanyalah memaksa saya untuk menanggalkan kesadaran saya, dan itu tidak bisa saya lakukan. Maka, saya menegaskan bahwa dalam tulisan ini, saya menuliskan sekaligus menceritakan tentang kondisi PC PMII Kediri menurut  subjek penulis.

Kondisi dan tradisi yang penuh gejolak merupakan hal wajar dalam kehidupan. Juga menjadi bukti keberadaan bagi kehidupan itu sendiri. Tak lain halnya dengan PC PMII Kediri. Berbagai gejolak tak pernah luput dari perjalanannya. Gejolak itu muncul, dan terus muncul. Kemunculannya bisa saja dari internal, juga bisa dari eksternal. Yang saya maksud internal di sini adalah permasalahan atau gejolak yang muncul dari dalam kepengurusan. Sedangkan eksternal adalah sebaliknya. Baik dari luar organisasi PMII (saya sebut ekstra PMII), maupun dari dalam organisasi PMII (saya sebut intra PMII) tataran di bawah atau di atas PC PMII.

Gejolak internal yang telah saya jelaskan tadi ternyata lebih sering kali muncul dalam kondisi PC PMII kediri. Gejolak tersebut di antaranya adalah Konflik antar kepengurusan, Keyolalitasan masing-masing Pengurus, dan tanggung jawab dan wewenang yang seringkali terbengkalai.

Berawal dari permasalahan yang kayaknya sering disepelekan itu, muncullah kemudian permasalahan-permasalahan baru yang lebih besar. Yang, imbasnya tak lain adalah  pada program-program kerja kepengurusan dan terakhir pada  hubungan timbal balik antara pengurus PC dan Komisariat yang secara struktural berada di bawah tataran PC.

Masing-masing pengurus mempunyai latar belakang komisariat yang berbeda. Mereka membawa kepentingan yang berbeda pula. Selain itu, mereka juga tersibukkan dengan aktifitas pribadinya. Totalitas dalam organisasi menjadi tersampingkan. Sampai pada saat tertentu, tujuan dan cita-cita mulia organisasi tersampingkan.

Dengan pola demokrasi yang dipegang oleh organisasi PMII, maka sesungguhnya harus bisa menerapkan seluruh nilai yang terdapat dalam konsep demokrasi. Seluruh suara dari ke semua harus diakomodir dengan baik. Selain itu harus ada pihak yang menjadi penengah di antara berbagai macam perbedaan suara tersebut. Tidak lantas kemudian, pihak yang menjadi penengah itu malah mempunyai suara sendiri atas kepentingannya juga. Jadi, jika menerapkan sistem demokrasi, sudah menjadi keharusan bahwa seluruh konsep demokrasi harus diterapkan dengan baik. Dengan begitu setidaknya bisa meminimalisir terjadinya kondisi rumit dan perpecahan.

Jangan salah, jika pola dan nilai demokrasi itu tidak diterapkan secara keseluruhan, maka hasilnya adalah seperti yang dikatakan John Locke yang seecara tegas menentang demokrasi. Dengan argumen bahwa sejatinya manusia itu memiliki sikap egoistik. Manusia itu sendiri adalah homo homoni lupus yang secara alamiyah berkehendak untuk memenuhi kenikmatan hidupnya. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa perselisihan antar pengurus terus dan terus terjadi dan ini tidak bisa dihindari. Menurut saya, sering bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan menjadi wajib adanya. Agar kepemimpinan ini tidak terkesan monarki. Walaupun semua permasalahan tidak niscaya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, namun setidaknya ini bisa menghindarkan dari persoalan yang tidak diinginkan dari masing-masing pengurus.

Lalu timbul pertanyaan baru, bisakah itu berjalan dengan semestinya? Saya menjawab bisa. Tentu dengan catatan bahwa setiap pengurus telah memiliki jiwa Biru-Kuning. Bukan hanya sebagai simbolitas saja, melainkan sudah mendarah daging dalam tubuh pengurus. Bukan hanya dibuktikan dengan sertifikat dan kaos yang berlogo PMII belaka, namun Loyalitas terhadap organisasi nonsense.

Mungkin kita lupa dengan letak kecerobohan kaum Empiris yang hanya mengandalkan Indrawinya untuk mendapatkan pengetahuan. Melupakan rasio, yang ternyata tak kalah pentingnya dalam proses memperoleh pengetahuan. Melupakan jiwa sebagai pengontrol etika dan politik manusia. Tak ubahnya Kader PMII masa kini yang hanya mengandalkan simbolistiknya. PMII hanya dipahami melalui pengamatan indrawinya saja. Bukan lagi dipandang dari ruh dan semangat pergerakannya. Walaupun ruh dan semangat itu apriori, namun akan tampak jelas jika kita menggunakan kacamata yang berbeda.

              Nah, sekarang kalau kita tetap menginginkan jati diri PMII tumbuh subur di dalam jiwa tunas-tunas muda, tak lain dan tak bukan jiwa biru-kuning itu harus tumbuh subur dan berkembang dulu di dalam jiwa kita. Bukan hanya sekedar simbol, tapi memang sampai hakikat dan ma’rifatnya.[]

Posting Komentar

0 Komentar