NICCOLO MACHIAVELLI: Formula Realisme dan Kebajikan



Di era sekarang, kita mungkin tak asing lagi dengan dunia politik. Tiap hari bahkan tiap jam, media sosial kita selalu penuh dengan berbagai ujaran yang tak jauh dari nada politis (sekalipun Pemilu masih jauh). Berbagai ujaran yang lewat di timeline itu, termasuk ujaran kebencian sekalipun, merupakan medan pera8ng bagi para politisi (atau politikus) dalam memperoleh kepercayaan masyarakat. Sedikit ironis sebenarnya, namun sekali lagi, dalam politik tidak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan pribadi.

Atmosfir politik yang demikian, sebenarnya dapat ditelisik melalui seorang politisi Italia era Rennaisance. Bahkan, mayoritas masyarakat (termasuk juga “akademisi”) menganggap tokoh ini sebagai yang bertanggungjawab atas hilangnya moralitas di dunia politik sekarang ini.

Riwayat Hidup

Adalah Nicollo Machiavelli, politisi (dan kemudian filsuf) kelahiran Florence, 3 Mei 1469. Ia lahir dari keluarga terkemuka yang kemudian tersingkir. Ayahnya,Bernardo merupakan jaksa yang kemudian hanya menjadi penasehat hukum kalangan bawah. Namun berkat ayahnya pula, Machiavelli menjadi terpikat dengan tulisan-tulisan Cicero. Selain Cicero, penulis Latin semisal Plautus, Terence, Caesar, Lucretius, Seneca dan Livy juga pernah dibacanya. Bahkan, besar kemungkinan dia juga membaca karya-karya penulis Yunani (meski sebatas dalam terjemahan) seperti Thucydides, Plato, Xenophones, Aristoteles, Plutarch dan Ptolemy. Kegilaannya dalam belajar inilah yang kemudian membuatnya menjadi seorang pegawai negeri sebelum akhirnya menjadi politisi.

Karir politiknya dimulai ketika Machiavelli diangkat sebagai Kepala Kanselir Kedua oleh Adriani pada usia 29. Sebulan setelahnya, ia juga diangkat sebagai Sekretaris Sepuluh, komisi perang. Pada 1498, Machiavelli memulai perjalanan sebagai seorang diplomat ke kota Piombino. Setelahnya dia dikirim ke Pontedera untuk merundingkan masalah gaji tentara bayaran dan mengunjungi Countess Caterina Sforza di Forli. Dia juga pernah ditugaskan menemui Georges D’Amboise (menteri keuangan Louis XII) di istana Prancis.

Antara 1502 dan 1507, Machiavelli bekerja sama dengan Leonardo Da Vinci dalam berbagai proyek, yang paling menonjol adalah proyek menghubungkan Sungai Arno ke laut, untuk mengairi lembah Arno dan memutus suplai air ke Pisa. Selain itu, pada 1507, Machiavelli juga ditunjuk sebagai Sekretaris Sembilan, sebuah komite yang menyangkut milisi. Milisi adalah ide yang dipromosikan Machiavelli pada 1505-1506 agar Florence tidak bergantung pada tentara bayaran.

Karir politik Machiavelli harus terhenti pada 1512 sebab tuduhan terlibat dalam konspirasi anti-Medici. Sebelumnya, kekuasaan keluarga Medici di Florence berhasil digulingkan pada 1492. Hal ini membuat Florence menjadi republik hingga pada 1512, keluarga Medici merebut kekuasaanya kembali atas Florence. Kemudian, pada 1513, ia dipenjara selama 22 hari dan disiksa dengan strappado, sebuah metode yang kemudian membuat pundaknya terkilir. Setelah periode inilah, ia kemudian banyak menulis buku, komedi dan drama.

Dua bukunya yang paling terkenal, Il Principe (the Prince) dan Discorsi Sopra La Prima Deca di Titus Livius (Discourses on First Ten Book of Titus Livius) ditulis pada periode ini (1513-1517), sekalipun baru diterbitkan pasca kematiannya. Buku pertama berisikan pandangannya mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang baik, bagaimana memperlakukan rakyat, dan seterusnya. Basically, the Prince berisi tutorial mengurus Negara ala Machiavelli. Namun, detail yang dibawakannya dalam buku ini cenderung mendapat kecaman yang akhirnya membuat nama Machiavelli terus di-bully hingga berabad-abad setelah kematiannya. Sedangkan buku yang disebutkan setelahnya berisi tentang tatanan Negara ideal dengan memandang Roma sebagai contoh.

Machiavelli meninggal pada tanggal 21 Juni 1527 dan dimakamkan di Basilika Florentine Santa Croce. Selama periode ini, Giovanni de Medici menjadi Paus Leo X, menggantikan Julius II pada 1513 sekaligus menjadi orang Florence pertama yang menjadi paus. Pada Oktober 1517, Martin Luther mengirimkan 95 tesisnya kepada Albert dari Mainz yang menyebabkan Luther dikucilkan pada 1521. Pada 1523, Giulanni de Medici menjadi Paus Clement VII. Dan pada 1532, Roma dijarah oleh Kaisar Charles V.

Politik Realisme

Seperti telah disinggung, Machiavelli disebut-sebut sebagai sosok yang bertanggungjawab atas hilangnya moralitas dalam dunia politik. Hal ini sedikit banyak diilhami dari bukunya yang tersohor, the Prince. Buku ini sendiri didedikasikan oleh Machiavelli untuk penguasa dari keluarga Medici. Pada awalnya, Machiavelli ingin mempersembahkan karya ini kepada Guilano de Medici, anak Lorenzo yang Agung. Namun, dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas, Machiavelli keudian mempersembahkan karyanya ini kepada Lorenzo de Medici, cucu Lorenzo yang Agung.

Dalam the Prince, Machiavelli memberikan ajaran-ajaran politiknya yang sarat akan ‘kebaruan’ pada saat itu. Pandangan dasar dalam buku ini adalah dalam meraih sukses, seorang pangeran tidak seharusnya mengindahkan moralitas. Lebih jauh, Machiavelli terang-terangan mengatakan bahwa Negara harus bisa mengontrol agama. Sebab, menurutnya, agama kerapkali mendominasi kekuasaan Negara, padahal agama hanyalah suatu instrumen sosial untuk menyatukan masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang terjadi di Abad Pertengahan, dimana Negara berada dibawah kontrol kepausan sebagai representasi agama.

Ajaran Machiavelli diatas sangat terpengaruh oleh praktek ahli Negara yang dikenalnya, yakni perlunya Negara menyelenggarakan kepentingannya. Disini, Nampak jelas bahwa Machiavelli merefleksikan kondisi Italia kala itu yang sedang kacau dan penuh perpecahan. Tujuannya adalah agar Italia kembali meraih kebesaran dan kehormatannya seperti di era keemasan Romawi. Untuk itu, ia menginginkan kekuatan dan kekuasaan yang mampu mempersatukan daerah-daerah sebagai Negara tunggal.

Selain itu, seorang pangeran juga harus mempertahankan wilayah kekuasaannya. Pada wilayah ini, moralitas juga seharusnya dienyahkan. Baginya hanya ada satu kaidah etika politik, yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja. Untuk wilayah ini, adanya sistem  hukum yang kuat dalam mengatur masyarakat adalah prasyarat utamanya. Karenanya, hukum harus ditegakkan bersama dengan sistem militer yang kuat. Namun itu semua harus berfungsi dalam koridor maksud dan tujuannya. Dengan tata kelola yang demikian, musuh akan lebih berhati-hati untuk menyerang wilayah tersebut. Hal ini akan membawa ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat sehingga raja atau penguasa akan dicintai.

Lebih jauh, dalam mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi oleh menteri-menteri yang mampu dan setia. Machiavelli juga mengingatkan penguasa agar menjauhkan diri dari penjilat. Bahkan, jika memang diperlukan, maka cara-cara seperti penipuan atau pembunuhan menjadi dibenarkan.

Dengan ajaran-ajaran yang demikian, setidaknya terdapat tiga pandangan terhadap Machiavelli. Pertama, Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak immoral dan amoral. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli yang menghindari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan dan cinta. Kedua, Machiavelli dipandang sebagai seorang yang realis atau pragmatis. Pandangan ini dipelopori oleh Benedetto Croce (1925). Ketiga, pemikiran Machiavelli dipahami sebagai pemikiran ilmiah yang membedakan antara fakta politik dan nilai moral.

Tentang Kebajikan

Yang paling mendasar dari semua gagasan Machiavelli adalah virtu atau yang yang diterjemahkan sebagai kebajikan. Meskipun sulit untuk dicirikan secara singkat, kebajikan Machiavellian menyangkut kapasitas dan merupakan kombinasi dari kemandirian, penegasan-diri, disiplin dan pengetahuan-diri.

Terkait dengan kemandirian, Machiavelli menyebutnya sebagai “lengan sendiri” (arme propie). Frasa ini secara umum merujuk kepada apa yang dimiliki oleh seseorang. Jadi paling tidak, kemandirian Machiavellian bisa berarti mengandalkan diri sendiri dengan apa yang dimiliki. Secara radikal, kemandirian ini mungkin berarti menyangkal ketergantungan terhadap segala hal – seperti alam, kekayaan, tradisi dan sebagainya. Dengan cara ini, Machiavelli dapat dikatakan sebagai pelopor dari berbagai diskursus modern mengenai substansi yang mencirikan sesuatu dalam kemandiriannya.

Terkait dengan penegasan-diri, Machiavelli mengatakan “mereka yang memiliki moralitas akan selalu gelisah dan dinamis, bahkan tanpa henti”. Dalam hal ini, Machiavelli berkaitan dengan konsepsi Yunani mengenai kekuatan aktif (dynamis). Akibatnya, idiom kemalasan atau waktu luang (ozio) adalah hal yang asing bagi karakter sukses dalam tulisan Machiavelli. Jadi paling tidak, penegasan-diri Machiavellian meletakkan manusia sebagai subjek yang tidak pernah baik atau buruk seutuhnya. Manusia hanya perlu terus-menerus bekerja dalam mencapai tujuan. “Cesare Borgia, merupakan salah satu pangeran teladan, bekerja tanpa henti untuk meletakkan dasar yang tepat bagi masa depannya”.

Terkait dengan disiplin-diri, kabajikan melibatkan pengakuan akan batas seseorang plus disiplin untuk bekerja dalam batas itu. Bagi Machiavelli, kebajikan mencakup pengakuan atas batas dimana seseorang harus bekerja, termasuk batasan sosial dan pemahaman konvensional mengenai benar dan salah. Misalnya, Machiavelli mengatakan, “seorang pangeran harus menggunakan kekejaman dengan cermat dan tepat serta tidak berusaha menindas rakyat dan dapat diandalkan sebagai kawan maupun lawan”. Kalimat ini memeberikan gambaran mengenai batasan kemampuan seorang pangeran yang tetap membutuhkan kepercayaan, atau paling tidak kepatuhan rakyatnya, karenanya seorang pangeran harus memahami batasan ini dan bekerja di dalam koridornya.

Terakhir, berkaitan dengan pengetahuan-diri, kebajikan melibatkan pengetahuan seseorang tentag kemampuannya, khususnya dalam kemampuan paradox untuk menjadi fleksibel. Jadi, tidak cukup untuk terus bergerak, seseorang juga harus selalu siap untuk mau bergerak kea rah lain. Juga tidak cukup dengan mengenali batasan-diri, tetapi juga harus selalu siap menemukan cara untuk mengubah kerugian menjadi keuntungan. Sebab, “sukses tidak pernah menjadi pencapaian permanen”. Dalam bahasa Machiavelli, kebajikan menuntut kita tahu bagaimana menjadi terburu nafsu (impetuoso); bahwa kita tahu bagaimana mengenali dorongan keberuntungan (impeto); bahwa kita tahu cara bergerak cepat untuk meraih peluang sebelum menguap.

Perlu digarisbawahi, bahwa kebajikan Machiavellian tidak melulu  bermoral. Namun bukan berarti bahwa penilaian moral harus dihilangkan dari kehidupan kita. Kita hanya tidak harus memikirkan tindakan kita sebagai yang terbaik atau buruk dengan pemahaman moral konvensional tentang benar dan salah. Dengan kata lain, kita hanya perlu melakukan apa yang ‘penting’ kita lakukan tanpa terbebani dengan apapun, termasuk memikirkan apakah ini benar atau salah. Just do it, bruh!!!

 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Machiavelli tidak hanya berbicara mengenai politik tapi hal yang jauh lebih dekat, yakni diri kita sendiri. Betapapun Machiavelli divonis bersalah atas hilangnya moralitas, ia tetaplah salah satu orang yang telah mengajari kita mengenai cara bersikap, khususnya di era dimana pragmatisme menyebar semakin luas seperti saat ini.


Oleh: A. Najmuddin

(Co. Bidang 1 komisariat 2020-2021)

Posting Komentar

0 Komentar