Sudah jamak diketahui bahwa dunia kita hari ini adalah dunia yang penuh dengan pragmatisme. Segala hal dipertimbangkan atas dasar nilai tukar atau popularitas. Sehingga wajar saja ketika kemudian filsafat dikabarkan sekarat. Hal ini dikarenakan filsafat tidaklah seperti quotes motivator ataupun ceramah ustadz popular yang baru memeluk Islam. Satu-satunya hal yang diberikan filsafat (setidaknya bagi saya) adalah kegamangan dan kecemasan, sesuatu yang cenderung sia-sia ketimbang menonton K-drama, menjadi EO atau bahkan ngopi di kafe terdekat. Seperti perkataan Bambang Sugiharto, filsafat adalah aktivitas berfikir yang lumrah, tapi tidak pernah mudah.
Konon, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berarti cinta kebijaksanaan. Phytagoras adalah orang pertama yang dianggap bertanggungjawab dengan kata ini. Dalam suatu legenda, Phytagoras pernah ditanya “Apakah anda seorang yang bijaksana?”. Sambil tersenyum ia menjawab “Aku hanya philosophos (pecinta kebijaksanaan)”.
Lantas seperti apa kebijaksanaan itu?
Menyitir tulisan Dedi Sahara, seseorang baru dapat disebut bijaksana apabila ia memiliki arti yang mendalam mengenai nilai dan arti hidup, manusia ataupun komoditas. Karenanya, di era menjamurnya agama yang bergerak menjadi mesin persekusi dan diskriminasi, penghancuran alam demi akumulasi modal serta budaya konsumerisme yang akut, filsafat masih sangat berarti (sekurang-kurangnya bagi saya) meski harus terseok-seok dan merangkak dalam mempelajarinya.
Sebagai hal yang berkaitan dengan pikiran, filsafat sangat dipengaruhi oleh situasi dan semangat suatu zaman. Oleh sebab serial waktu yang selalu menyambung, pemahaman mengenai khazanah kefilsafatan awal menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Berkaitan dengan ini, Bertrand Russel (1872-1970 M) dalam History of Western Philosophy dengan susah payah memetakan filsafat (barat) dalam tiga periode: filsafat kuno, filsafat katolik dan filsafat modern. Hal ini bersesuaian dengan serial peradaban filsafat di Eropa yang bermula dari peradaban Yunani Kuno, lalu Abad Pertengahan, modern hingga era kontemporer dewasa ini. Dalam jalan panjang itu, tulisan ini akan membahas sedikit hal pada era sebelum modern, khususnya Abad Pertengahan sebagai upaya mencocokkan dengan judul tulisan ini.
Filsafat Yunani Kuno
Kisaran abad ke-6 SM sering ditandai sebagai abad-abad kelahiran filsafat. Hal ini terjadi pasca surutnya pengaruh Homeros dan Hesiodos yang mengajarkan tuntunan hidup dalam rupa mitologi. Keduanya merupakan produk dari puncak kebudayaan Ionia, wilayah yang sama dengan kota Milletus, kota lahirnya para filosof awal: Thales, Anaximander dan Anaximenes. Tidak mengherankan, sebab Ionia merupakan wilayah Yunani yang relatif aman dari invasi bangsa Doria pada abad-7 SM.
Kondisi wilayah Ionia yang tenang, membuat penduduknya menyaksikan siklus kehidupan. Mereka menikmati perubahan musim semi hingga musim gugur dan melihat bayi-bayi tumbuh menjadi dewasa lalu kemudian mengalami kematian, hal yang tidak dapat dihindari. Kenyataan tentang perubahan siklus kehidupan ini kemudian mendorong orang-orang Ionia berfilsafat. Mereka melihat bahwa dibalik perubahan dan gerak pastilah terdapat suatu hal yang permanen. Sebab, perubahan adalah gerak dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Hal ini mensyaratkan adanya sesuatu yang menjadi unsur pertama (Urstoff, Arche).
Thales (624-545 SM) menganggap bahwa unsur pertama itu adalah air. hal ini merupakan kesimpulan dari pengamatannya tentang dominasi peran air dalam siklus alam maupun kehidupan manusia. Namun kesimpulan itu dibantah oleh Anaximander (610-545 SM) yang berpegang pada banyak hal yang tidak dapat melebur menjadi air. Baginya, unsur pertama itu adalah apeiron, sesuatu yang kekal dan melingkupi seluruh jagad. Filosof Miletus ketiga, Anaximenes (585-528 SM) mengatakan bahwa unsur pertama itu adalah udara. Kesimpulan ini kemungkinan didasarkan pada fakta bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa udara. “Sebagaimana jiwa kita, demikian juga udara dan nafas merangkul seluruh kehidupan” kata Anaximenes.
Phytagoras (570-495 SM) yang pindah dari Ionia menuju Kroton, Italia Selatan, mengatakan bahwa jiwa itu kekal. Setelah kematian, jiwa berpindah ke hewan dan seterusnya. Karenanya, dalam tarekat Phytagorian terdapat berbagai aturan untuk menjaga kesucian jiwa. Selain itu, ia juga mengajarkan bahwa manusia merupakan jelmaan Tuhan dan karena itu manusia menjadi tolok ukur segalanya.
Xenophanes (570-480 SM) yang berasal dari Elea, Italia Selatan, kemudian mengajarkan bahwa Tuhan tidaklah seperti manusia (Antropomorfis). Ia juga membedakan kebenaran, pengetahuan dan kepercayaan. Ia menolak kebenaran mutlak namun memungkinkan mencari pengetahuan dengan penelitian. Selain itu, Xenophanes juga dianggap sebagai pendiri sekolah Elea sekaligus guru dari Parmenides (540-470 SM). Parmenides kemudian dikenal sebagai tokoh paling terkenal dari sekolah Elea. Inti ajarannya adalah “Hanya yang ada itu ada, perubahan adalah ilusi”. Hal ini bertentangan dengan pemikiran Heraklitos (540-475 SM), filosof asal Efesus, wilayah Ionia. Inti ajarannya adalah “panta rei”, yakni segala sesuatu mengalir. Ia juga berpendapat bahwa unsur pertama alam ini adalah api. Sebab, api hidup dengan memakan benda lain dan apabila benda lain itu tidak ada, maka api akan mati. Namun, api juga memberi intensitas lain pada benda. “Api ditukar dengan benda dan benda ditukar dengan api, sama seperti benda ditukar dengan emas dan emas ditukar dengan benda”.
Perdebatan antara pemikiran Heraklitos dan Parmenides kemudian menemukan sintesisnya pada diri Plato (427-347 SM). Menurutnya, pemikiran Heraklitos dan Parmenides meletakkan dunia sebagai hal yang tunggal. Padahal, menurutnya dunia ini berasal dari dua dunia yakni dunia indrawi dan dunia ide. Dunia indrawi merupakan penampakan yang dapat dirasakan oleh pancaindra kita, namun sebenarnya hanya refleksi dari dunia ide. Sedangkan dunia ide adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Didalamnya tidak terdapat perubahan dan hanya berisi ide yang kekal, abadi dan indah. Lebih lanjut, Plato berpendapat bahwa pengetahuan haruslah bersifat universal dan tidak berubah, karenanya objeknya jelas bukan dunia inderawi yang sarat akan perubahan.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles (384-322 SM) menekankan pada penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya. Karenanya, pengamatan indrawi lebih mungkin untuk mencapai kebenaran daripada propabilitas pengetahuan. Ia juga menyusun ilmu logika dengan tujuan untuk menetapkan metode berpikir dan berargumentasi dengan benar menggunakan kaidah-kaidah dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang. Selain itu, ia juga menolak dualisme Plato mengenai jiwa dan badan. Menurutnya, jiwa dan badan adalah satu kesatuan, jiwa akan mati seiring dengan kematian badan.
Setelah era Plato dan Aristoteles, peradaban Yunani meluas dibawah pimpinan murid Aristoteles, Alexander Agung (356-323 SM). Dibawah pemerintahan Alexander Agung, kebudayaan Yunani telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dari situ mulai berkembanglah corak kebudayaan baru yang dinamakan Hellenisme (Hellenis-Romano), yakni perpaduan unsur budaya Yunani dan Romawi. Demikian pula filsafat Yunani semakin meluas pengaruhnya. Sekolah-sekolah filsafat mulai berkembang ke luar Athena. Di masa ini muncul beberapa aliran, yang terpenting adalah stoisisme, epikurisme, skeptisisme, eklektisisme dan neoplatonisme.
Stoisisme didirikan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) yang berpandangan bahwa jagad raya ditentukan oleh logos atau rasio. Maka segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berlangsung menurut ketetapan yang tak dapat dihindarkan.
Epikurisme didirikan oleh Epikuros (341-270 SM). Inti ajarannya adalah bahwa manusia harus menggunakan kehendak bebas dengan mencari kesenangan sedapat mungkin. Tapi agar keadaan batin tenang dan seimbang, orang harus menjadi bijaksana dalam artian membatasi diri dan mengusahakan kesenangan rohani.
Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (360-270 SM). Namun berbeda dengan yang lain, skeptisisme bukanlah suatu aliran yang memiliki pengikut-pengikut tertentu, melainkan hanya tendensi umum dalam masyarakat.
Ekletisisme adalah kecenderungan mendamaikan berbagai unsur yang berbeda. Ini juga merupakan suatu tendensi umum masyarakat, khususnya golongan elit. Orang yang dikenal sangat eklektis adalah ahli pidato Cicero (106-43 SM) dan Philo (25 SM-50 M).
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad Pertengahan merupakan upaya sinergi filsafat dengan ajaran Kristen yang baru berkembang di wilayah Romawi. Secara umum, terdapat dua periode besar didalamnya yakni periode Patristik dan periode skolastik. Keduanya ditengahi oleh periode kemunduran yang disebabkan runtuhnya kekaisaran Romawi oleh serbuan bangsa bar-bar.
Periode Patristik merupakan periode dimana para peter atau bapak-bapak gereja berusaha meletakkan dasar intelektual kekristenan. Mereka berfokus pada teologi kekristenan, namun dalam pembahasannya tidak dapat lepas dari filsafat. Beberapa tokoh penting periode ini adalah Tertullianus (160-222 M), Justinus, Clemens dari Alezandria (150-251 M), Origenes (185-254 M), Gregorius dari Nazianza (330-390 M), Basilius Agung (330-379 M), Gregorius dari Nyssa (335-394 M), Dionysius dari Aeropagus (sekitar abad 5-6 M), Johanes Damascenus (676-749 M), Ambrosius (340-397 M) dan yang terbesar Agustinus (354-430 M).
Agustinus pada awalnya adalah seorang pemuda yang hidup dengan gaya hedonistis. Ia kemudian masuk Kristen dan mendirikan tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad-abad berikutnya. Karyanya yang terpenting adalah Confessiones dan De Civitate Dei.
Menurut Agustinus, Allah menciptakan dunia ex nihilo yang berarti bahwa dunia ini diciptakan tidak dengan bahan. Hal ini berbeda dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa dunia tercipta dari ide-ide Tuhan. selain itu, Agustinus juga menentang pendapat skeptisisme. Menurutnya, orang yang ragu membuktikan bahwa kebenaran benar-benar ada sehingga layak untuk diragukan.
Periode Skolastik merupakan masa kejayaan filsafat Abad Pertengahan. Nama skolastik sendiri merujuk pada banyaknya sekolah dan biara dalam pengembangan pemikiran filsafat. Masa ini diawali dengan runtuhnya kekaisaran Romawi dan kekacauan dalam tatanan hidup masyarakat Eropa. Sebelum akhirnya pada masa pemerintahan Karel Agung (742-814 M) kegiatan intelektual mulai pulih dan bersemi kembali.
Masa skolastik mencapai puncaknya pada abad XIII. Pada masa ini, filsafat masih bertautan dengan teologi namun berhasil menemukan titik kemandirian tertentu. Hal ini disebabkan oleh dibukanya universitas-universitas yang mendukkung penyebarluasan karya filsuf Yunani, khususnya Aristoteles. Masuknya filsafat Aristoteles dimungkinkan lewat filsuf-filsuf Arab seperti Ibnu Sina atau Aveciena (980-1037 M) dan Ibnu Rusydi atau Averoes (1126-1198 M). selain itu, terdapat pula peran filsuf Yahudi (yang menulis filsafat dalam Bahasa Arab) semisal Salomon Ibnu Geribol atau Avicebron (1021-1050 M) dan Musa Maimonides (1135-1204 M).
Tokoh-tokoh penting masa skolastik antara lain Johannes Scotus Eriugena (810-877 M) yang mengajar di sekolah istana yang didirikan Karel Agung, banyak menerjemahkan karya-karya Dionysius ke dalam bahasa Latin.
Anselmus dari Canterbury (1033-1109 M) merupakan seorang uskup yang terkenal dengan semboyan credo ut intelligam (Saya percaya agar saya mengerti). Semboyan ini berimplikasi bahwa dengan percaya pada Allah, orang dapat memperoleh pemahaman lebih khususnya tentang Allah.
Petrus Abelardus (1079-1142 M) memberikan kontribusi besar di bigang logika dan etika. Ia juga memberikan pendapat yang sangat berharga mengenai perdebatan tengtang universalia (konsep umum) antara kelompok realisme dan nominalisme.
Selain itu ada nama-nama seperti Bonaventura (1221-1274 M) pemimpin ordo Fransiskan, Siger dari Brabant (1240-1284 M) yang merupakan mahaguru fakultas sastra di Paris, Albertus Agung (1205-1308 M) seorang biarawan ordo Dominikan yang menjadi mahaguru di sejumlah universitas di Jerman dan Prancis dan Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Nama terakhir sering disebut sebagai Pangeran Masa Skolastik. Hal ini dikarenakan besarnya pengaruh dan jumlah karya yang ditinggalkannya. Salah satu yang paling terkenal adalah Summa Theologiae yang terdiri dari 22 jilid. Ia juga dikenal dengan ungkapannya “Philosophia est Ancilla Theologiae”, filsafat mengabdi pada teologi.
Menurut Aquinas, dunia ini diciptakan dari ketiadaan creatio ex nihilo. Selain dunia ini diciptakan tanpa bahan, penciptaan dunia juga tidak terbatas pada satu waktu tapi berlangsung terus-menerus. Selain itu, manusia juga dapat mengenal Allah dengan rasio. Ia membuktikan adanya Allah melalui rangkaian argumentasi yang dikenal dengan Quinquae Viae (Lima Jalan) yakni adanya perubahan, sebab-akibat, kontingensi (bisa ada, bisa tidak/sementara), hirarki kesempurnaan dan finalitas dunia.
Dalam kaitan antara tubuh dan jiwa, Aquinas berpendapat bahwa jiwa merupakan forma yang dibungkus materi berupa tubuh. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab keduanya merupakan satu substansi. Namun jiwa menjalankan aktivitas yang lebih tinggi dari aspek badaniah, yakni kegiatan berpikir. Selain itu, pada saat kematian badan dan kehancurannya, jiwa tetap hidup dan kekal.
Kondisi Akhir Abad Pertengahan
Di akhir abad pertengahan, teologi mengalami masa krisis yang berujung pada mistisisme. Hal ini disusul dengan perlawanan terhadap otoritas gereja dan kaum bangsawan. Paling besar merupakan perlawanan yang diilhami oleh Martin Luther (1483-1546 M), pemimpin reformasi gereja yang akibatnya masih dapat kita rasakan.
Di bidang politik, kekuasaan kaum bangsawan, khususnya para kaisar juga mulai runtuh. Negara-negara mulai terbentuk. Ketertarikan pada Negara pun dimulai dengan munculnya para pemikir tangguh seperti Niccolo Machiavelli (1469-1527 M), Francis Bacon (1561-1626 M) dan Thomas Hobbes (1588-1679 M). Hal ini juga didukung dengan munculnya berbagai kota perdagangan baru di berbagai penjuru Eropa.
Selain itu, perkembangan mutakhir di bidang ilmu alam juga turut mewarnai akhir abad pertengahan hingga awal renaissance. Tokoh-tokoh seperti Nicollas Copernicus (1473-1543 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), Nicollas Cryfftz (Krebs) dari Cusa (1401-1464 M) hingga Isaac Newton (1642-1727 M) dan James Watt (1736-1819 M) memberikan temuan-temuan baru yang semakin mendiskreditkan ajaran-ajaran keilmuan abad pertengahan. Bahkan di Jerman, ilmu-ilmu seperti alkimia, astrologi dan sihir yang spekulatif-mistik digunakan untuk membangun ilmu-ilmu alam oleh Heinrich Suso (1295-1366 M), Johannes Tauler (1300-1361 M) dan Angelius Silesius (1624-1677 M) yang mengambil inspirasi dari mistisisCme spekulatif Meister Eckhart (1260-1327 M).
Masa renaissance juga banyak diwarnai dengan meningkatnya ajaran humanisme di Prancis yang dipimpin oleh Hellenius Henry Estienne (1531-1598 M), di Spanyol ada Luis Vives (1493-1540 M) dan di Inggris ada nama Thomas More (1478-1535 M). Pada abad ke-15 mulai bermunculan akademi Platonis yang condong pada filsafat dan sastra dan meninggalkan teologi. Ada juga kelompok Aristotelian yang tumbuh subur di Italia, diantaranya Ermolao Barbaro (1454-1493 M) dan Pietro Pomponazzi (1462-1525 M). Selain itu, tendensi skeptisisme juga meningkat di Spanyol dengan diwakili Fransisco Sanchez (1550-1623 M) dan di Prancis diwakili oleh Michel de Montaigne (1533-1592 M) dan Pierre Charron (1541-1603 M).
Sekalipun demikian, menurut Marias dalam bukunya History Of Philoshopy karakteristik filsafat renaissance kurang memiliki kedisiplinan dan ketelitian intelektual. Jika dibandingkan dengan momen-momen terbaik masa skolastik, inferioritasnya nampak nyata. Gagasan-gagasan Aristotelian dan Neoplatonik yang muncul tidak memiliki posisi filosofis dan historis yang kuat. Mereka belum mempertanyakan posisi intelektualnya secara serius. Baru pada awal abad ke-17 M muncul gagasan mengenai hal ini dalam karya Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam Cartesianisme, zaman modern dipikirkan secara serius melalui pengandaian metafisisnya.
Oleh: Ahmad Najmuddin
(Co. Bidang 1 Komis 2020-2021)
0 Komentar