RENE DESCARTES; Meditasi Filosofis, Pembersih Puing Abad Pertengahan


Oleh : Ahmad Najmuddin
Semester V

Rene Descartes, juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur Latin, adalah filsuf sekaligus matematikawan kelahiran La Haye-Touraine Perancis. Filsuf yang lahir pada 31 Maret 1596 ini dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Modern” dan “Bapak Matematika Modern”. Dilahirkan dari keluarga borjouis membuatnya bisa mendapatkan pendidikan berkualitas di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612 yang kemudian memberikan dasar matematika modern bagi Descartes, sekalipun ia tercatat sebagai mahasiswa di bidang hukum. Descartes dikenal sebagai sosok yang lebih suka mengasingkan diri. Mulanya ia hidup di Paris, kemudian pindah ke daerah terpencil yang bernama Faubourg. Di Faubourg teman-temannya bisa menemukan dia, sehingga untuk lebih menyembunyikan diri ia mendaftarkan diri sebagai tentara Belanda (1617). Suasana damai membuatnya bisa menikmati meditasinya. Tetapi, meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria pada 1619. Pada musim dingin 1619-1620 inilah ia menuangkan pemikirannya dalam buku Discours De La Methode yang kemudian dikenal sebagai masterpiece-nya. 

Selain Discours De La Method, Descartes juga melahirkan karya agung lainnya yaitu Meditationes de Prima Philosophia : In Qva Dei Existentia et Animae Immoralitas Demonstratur (Renungan Filsafat Pertama : di mana keberadaan Tuhan dan keabadian jiwa diperlihatkan) yang pertama terbit pada 1641 dalam bahasa Latin. Tidak mengherankan jika Descartes kemudian menulis buku ini, melihat sikapnya yang hobby mengasingkan diri dan meditasi. Buku ini berisi meditasi yang seolah-olah telah Descartes lakukan selama enam hari dimana setiap meditasi mengacu pada kesimpulan meditasi kemarin. Descartes mengawali buku ini dengan pembuangan kepercayaan pada hal-hal yang tidak pasti untuk kemudian mencoba membangun apa yang bisa diketahui dengan yang pasti.


  • Meditasi I : Mengenai Hal-hal Yang Dapat Disebut Keraguan

Meditasi pertama berisi pendefinisian Descartes tentang apa yang dia maksudkan dengan keraguan sebagai metode. Ia memulai dengan merefleksi jumlah kepalsuan yang ia yakini selama ini dan keyakinan lanjutan (berupa pengetahuan) yang telah ia bangun di atas kepalsuan tadi. Ia memutuskan untuk menyapu semua yang dia pikir dia tahu. Alih-alih meragukan semua opininya, ia lebih memilih untuk meragukan pondasi dan prinsip dasar yang menjadi dasar pendirian opini tersebut. Ia beralasan bahwa jika ia berhasil meragukan pondasi dan prinsip dasar tadi maka ia akan terdorong untuk menemukan pondasi lain yang lebih kuat. Pondasi pertama yang berusaha diragukan adalah bahwa ia dapat mengetahui dengan dan melalui indranya. Ia menemukan bahwa indra terkadang dapat menipu sekalipun ia juga menyadari bahwa penipuan ini hanya berhubungan dengan hal yang sangat kecil atau jauh. Selain itu ia juga menyadari bahwa dia sering diyakinkan ketika dia bermimpi dia merasakan itu sebagai sebuah kenyataan. Argumentasi mimpi ini kemudian dapat dianalisa sebagai argument universalitas dalam mimpi (dimana ia tidak dapat membedakan pengalaman dalam mimpi dan pengalaman saat ia terjaga) atau argument mimpi universal (dimana seluruh hidup adalah mimpi dan tidak ada pegalaman saat terjaga). Descartes mendapati hamper mustahil untuk menjauhkan pendapat dan asumsi kebiasaan dari kepalanya sehingga ia memutuskan untuk mengandaikan pendapat ini sebagai pendapat imajiner untuk mengimbangi cara berpikir yang menjadi kebiasaannya. Dia juga mengandaikan adanya iblis jahat yang menipunya sehingga ia tertipu ketika berpikir ia tahu bahwa ia salah.

Ringkasnya, dalam meditasi pertama ini, Descartes berhasil meletakkan penundaan terhadap apa yang menjadi prinsip dasar penilaian kebenaran. Argumentasinya dapat dilukiskan sebagai “Jika saya bermimpi/tertipu, maka keyakinan saya tidak bisa diandalkan” 


  • Meditasi II : Mengenai Manusia, bahwa pikiran lebih dikenal daripada tubuh

Setelah ia berhasil meletakan keraguannya sebagai sebuah metode. Ia kemudian meyakinkan dirinya (berdasarkan argument mimpi) bahwa tidak ada apa pun di dunia ini – tidak ada langit, tidak ada bumi, tidak ada pikiran, tidak ada tubuh. Artinya dia juga tidak ada. Tapi, ia harus ada jika dia yakin dan ragu akan sesuatu. Ia juga melanjutkan argument tentang adanya iblis yang menipunya dengan menuliskan “Tetapi ada penyesat, sangat kuat dan licik yang tujuannya adalah untuk melihat bahwa saya selalu tertipu. Biarkan dia menipu saya sejauh yang dia bisa, dia tidak akan pernah biasa membuat ini menjadi kasus bahwa saya bukan apa-apa.” Dari sini Descartes kemudian berkesimpulan bahwa kesadaran seseorang menyiratkan keberadaannya. Kesimpulan ini ia lukiskan dalam kalimat “cogito ergo sum” yang artinya aku berfikir maka aku ada. Ia berhasil mengamankan keberadaannya. Kemudian ia berusaha mendefinisikan dirinya tetapi ia menolak metode khas dalam pendefinisian (misalnya, hewan rasional) karena kata-kata ini masih butuh untuk didefinisikan. Dia mencari istilah sederhana yang tidak perlu didefinisikan lagi. Sehingga Descartes mendefinisikan dirinya sebagai “suatu hal yang berpikir”. Ia maksudkan sebagai sesuatu yang meragukan, memahami, menegaskan, menyangkal, menghendaki, menolak dan juga merasakan serta memiliki citra mental.

Dalam meditasi kedua, Descartes berhasil mengamankan eksistensi nya sebagai sebuah kesadaran. Ia juga membuat definisi bahwa manusia adalah sesuatu yang berpikir. Akibatnya, manusia hanya memiliki akses langsung kepada pikirannya. Sedangkan terhadap hal-hal inderawi, manusia hanya dapat mengaksesnya melalui perantara.


  • Meditasi III : Mengenai Tuhan, Yang Ada

Descartes memulai meditasi ketiga dari keyakinan bahwa manusia memiliki kesadaran yang berisikan ide. Di sini Descartes mengusulkan bahwa ada tiga jenis ide: innate idea (ide bawaan yang ada dan selalu ada pada manusia), fictitious idea (ide yang diciptakan dari imajinasi manusia) dan adventitious idea (ide yang berasal dari pengalaman dunia). Selanjutnya Descartes menyoalkan adanya ide kesempurnaan yang dimiliki manusia. Dalam pembahasan ini Descartes menyusun argumennya sebagai berikut :
  1. Sesuatu tidak bisa datang dari ketiadaan.
  2. Penyebab suatu gagasan harus memiliki paling tidak sebanya realitas formal sebagaimana gagasan tersebut memiliki realitas objektif.
  3. Saya memiliki gagasan tentang entitas yang sempurna. Gagasan ini memiliki realitas tanpa batas.
  4. Saya tidak cukup syarat untuk menjadi penyebab gagasan ini, karena realitas saya bukan tanpa batas. Hanya entitas tak terbataslah yang bisa menjadi penyebab gagasan tentang Tuhan.
  5. Jadi Tuhan sebagai entitas tanpa batas harus ada. 
Dalam meditasi ketiga ini, Descartes menyimpulkan bahwa ia memiliki gagasan yang jelas dan berbeda (clear and distinct) tentang Tuhan. Sehingga ia telah mendapati dua entitas yakni “aku dalam bentuk kesadaran” sebagai entitas terbatas dan “tuhan” sebagai entitas tanpa batas. 



  • Meditasi IV : Mengenai Yang Benar dan Yang Salah.

Sebelumnya Descartes berhasil mendapatkan keberadaan Tuhan sebagai entitas sempurna dan tanpa batas. Jika Tuhan sebagai entitas sempurna dan menjadi sumber semuanya, bagaimana kesalahan atau kepalsuan menjadi mungkin? Ia memulai argumennya dari kerangka yang berpusat pada Great Chain of Being dimana di ujung skala yang berlawanan terdapat ketiadaan yang merupakan kondisi paling jahat. Sehingga manusia adalah makhluk di antara dua ekstrim yakni entitas yang sempurna dan non-entitas. Dari sini Descartes ingin mendefinisikan bahwa kesalahan atau kepalsuan bukanlah hal yang positif. Kesalahan adalah bentuk dari ketiadaan kebenaran. Bagi Descartes hal ini menjadi mungkin disebabkan oleh dua kemungkinan karunia ilahi. Pertama, pemahaman yang dikaruniakan Tuhan dengan tidak lengkap. Kedua, kehendak bebas yang hanya dapat diberikan secara penuh atau tidak sama sekali.


  • Meditasi V : Mengenai Esensi Hal-hal Material dan lagi mengenai Tuhan, Yang Ada

Pada meditasi kelima ini, Descartes ingin membuka kemungkinan keberadaan hal-hal inderawi. Alih-alih mengakui keberadaan benda material secara langsung, Descartes lebih tertarik untuk mempertimbangkan ide-ide tentang benda material tadi. Hal ini dapat dilihat dalam tulisannya sebagai berikut :

“Saya menemukan dalam diri saya ide-ide yang tak terhitung banyaknya tentang hal-hal yang, meskipun mungkin berada diluar diri saya, tidak dapat dikatakan tidak ada artinya. Sementara saya memiliki kendali penuh terhadap pikiran saya tentang hal-hal ini. Saya tidak mengada-ada. Mereka memiliki kodrat mereka yang nyata dan abadi. . . Jadi saya dengan jelas melihat bahwa kepastian dan kebenaran dari semua pengetahuan saya berasal dari satu hal: pemikiran saya tentang Allah yang benar. Sebelum saya mengenal-Nya, saya tidak bisa mengetahui hal lain dengan sempurna. Tetapi sekarang saya dapat dengan jelas dan pasti (clear and distinct) mengetahui hal-hal yang tak terhitung banyaknya, tidak hanya tentang Tuhan dan makhluk mental lainnya, tetapi juga tentang sifat-sifat benda fisik sejauh mereka adalah subjek matematika murni.”

Dari sini jelas bahwa Descartes berhasil membuka kemungkinan adanya benda fisik di luar dirinya.


  • Meditasi VI : Mengenai Keberadaan Benda-benda Material dan Pemisahan Pikiran dan Tubuh

Dalam meditasi sebelumnya, Descartes membahas potensi keberadaan materi di luar diri dan Tuhan. Pertama, ia menegaskan bahwa benda tersebut bisa ada hanya karena Tuhan mampu membuatnya. Kemudian ia menjelaskan tentang citra mental benda tersebut. Untuk ini ia membedakan imajinasi dengan pengetahuan. Imajinasi menurut Descartes merupakan fakultas pengetahuan non-linguistik untuk tubuh yang segera hadir tanpa kecerdasan atau konsepsi. Ia mengambil contoh mental segitiga. Menurutnya ia tidak hanya mengetahui bahwa ia adalah bangunan yang dibatasi oleh tiga garis, tetapi ia juga melihat garis itu. Garis inilah yang ia maksudkan sebagai citra mental dan berbeda dengan imajinasi karena ia ada sebagai hasil konsepsi Descartes terhadap segitiga. Di sini Descartes belum menyatakan keberadaan benda materi. Untuk menjelaskan ini ia pertama-tama meninjau kembali premisnya untuk meditasi bahwa indera tidak dapat dipercaya. Namun ia memandang ini dengan konteks baru. Setelah menulis meditasi I, ia telah membuktikan keberadaannya dan entitas Tuhan sebagai yang sempurna. Dengan demikian ia melompat jauh ke bukti pembagian antara tubuh dan pikiran itu ada. Argument ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
  1. Saya memiliki kecenderungan kuat untuk percaya pada realitas material karena indera saya.
  2. Tuhan pasti menciptakan saya dengan sifat ini.
  3. Jika benda materi tidak ada, berarti Tuhan adalah penipu.
  4. Tuhan tidak mungkin menipu karena Dia sempurna.
  5. Jadi benda materi benar-benar ada.


Dari sini dapat kita lihat bahwa Descartes dengan kokoh mengajarkan adanya tiga entitas: kesadaran, Tuhan dan materi. Ajaran ini menjadi penting ketika kita melihat konteks Descartes yang berusaha mematahkan otoritas Gereja khas Abad Pertengahan. Descartes berhasil membuktikan bahwa manusia bisa mencapai Tuhan dengan modal akalnya. Ia sekaligus berhasil mematahkan kebenaran otoritatif yang telah lama mendarah-daging di Eropa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Descartes berhasil membawa sekularisme sekaligus mengembalikan agama dalam tujuan aslinya yakni humanis.
Salam Katarsis…..

Posting Komentar

0 Komentar