Ide politik Niccollo Machiavelli sering dianggap keluar dari hati nurani manusia. Ungkapan ini beralasan, bahwa gagasan yang diciptakan Machiavelli bersifat otoriter dan menghalalkan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, Budi Hardiman dalam Filsafat Modern (2004) memberi tanggapan yang berbeda mengenai pemikiran Niccolo Machiavelli. Dalam pandangannya, Machiavelli malah dianggap seorang yang genius dan mempunyai peran besar dalam sejarah.
Ungkapan Budi Hardiman tersebut bisa saja dikatakan benar, jika konteks yang diambil adalah realita politik Eropa abad pertengahan. Akan tetapi, jika kontek yang dibicarakan adalah realita yang sekarang, hal ini akan menjadi problem tersendiri mengenai gagasan tersebut.
Sesuai yang kita ketahui, salah satu gagasan Niccollo Machiavelli adalah pengharusan suatu negara untuk mendominasi agama. Hal ini dikarenakan pada abad pertenagah negara selalu dikuasai agama, bahkan sampai pengankatan kaisar harus dipilih oleh Paus. Sehingga konsep seperti ini bisa menjadikan warga negara terjerumus dalam jurang dogmatis.
Andaian Machiavelli ini merujuk pada romantisme Romawi kuno, yang mana agama Kristen dikendalikan oleh kaisar Romawi. Akan tetapi, bukan berarti ide tersebut tidak ada masalah. Menurut Habiburrahman, sejarah Trinitas yang ada di agama kristiani bermula dari ide sang kaisar. Hal ini dikarenakan Romawi kuno pada waktu itu masih menganut kepercayaan politeis yang menganngap dewa itu banyak. Sehingga dalam pandangannya terdapat kejanggalan jika menganggap tuhan itu hanya Allah.
Maksud dari paparan di atas adalah, jika agama dikuasai oleh negara, negara akan ikut masuk dalam ruang privat suatu agama, sehingga hal ini dapat membatasi ekspresi warga negara dalam berkeyakinan.
Nada yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, dimana pada zaman Orba semua warga negara diwajibkan untuk memilih salah satu dari lima agama, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu. Jika selain agama tersebut tidak dibolehkan. Hal ini tentunya agama atau kepercayaan asli Indonesia yang tergabung dalam 186 organisasi tidak akan mendapatkan pengakuan, begitu pula kepercayaan lainnya. Padahal dalam UUD, kebebasan dalam menyakini kepercayaan mendapat perlindungan dari Negara.
Gagasan Machiavelli mengenai negara jangan sampai dikuasai agama, bukan berarti agama tidak penting. Agama juga mempunyai manfaat tersendiri, yaitu berfungsi untuk memobilisasi warga negara. Kelihaian membaca dan memanfaatkan agama juga harus dimiliki oleh penguasa.
Ide mengenai negara harus mendominasi agama, ataupun sebaliknya, sama-sama mempunyai konsekuensi logis. Dan sebaiknya harus ada dialog antara keduanya sehingga bisa berjalan beriringan.
Selain berbicara kedudukan agama dan negara, Machiavelli juga berbicara soal etika dalam berpolitik. Secara garis besar bagaimana etika moral yang harus dilakukan oleh penguasa menurut Machiavelli dapat terwakilkan dengan pengibaratannya.
”Seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas…Seorang pangeran harus bisa memakai dua kodrat itu…yang satu tanpa yang lainnya tak dapat ada. Dan karena seorang pangeran harus mampu bermain sebagai binatang buas, diaharus mencontoh rubah dan singa…dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala…”. Kurang lebih sepeti itu kutipan Budi Hardiman dalam karya Machiavelli Il Principe.
Kutipan di atas sudah bisa dilihat bahwa seorang penguasa tidak perlu mempertimbangkan moralitas. Maksudnya, penguasa bisa saja berprilaku moralistis, seperti rendah hati, berkumpul dengan masyarakat kecil, maupun yang lainnya. Dan jika membutuhkan, penguasa bisa juga bersifat sebaliknya.
Prinsip kepemimpinan Machivellian juga dapat dirasakan di era kekuasaan sekarang. Baik pemanfaatan agama maupun prinsip moralitas yang harus dilakukan oleh penguasa. Contoh pemanfaatan agama dapat dilihat pada pada kandidat calon presiden kemarin, yang mana antara kedua kubu saling memanfaatkan kekuatan agama. Hal ini dilakukan karena mereka memang bersikap realistis dengan memihak pada kubu yang mereka anggap mempunyai kekuatan.
Selain pemanfaatan fungsi agama, penguasa sekarang juga mengamalkan prinsip moralitas yang ditawarkan Machiavelli. Dimana sikap sholeh terhadap warga negara juga dilakukan, dan sikap diktator terhadap warga negara juga dilakukan. Contoh sikap sholeh terhadap warga negara adalah dengan janji-janji, atau dengan mau berkumpul dengan warga negara.
Untuk contoh kediktatoran adalah penggunaan aparat keamanan maupun pertahanan atas ketidaksetujuan penggusuran tanah, pendekan represif oleh aparat dalam menyelesaikan kasus Papua, maupun intervensi terhadap rektor mengenai mahaswanya yang demo. Kedua prinsip ini baik berwajah sholeh maupun diktator dilakukan memang untuk memenuhi kepentingan penguasa.
*Tulisan ini merupakan sedikit review hasil dari diskusi.
0 Komentar