Giardano Bruno,
seorang pemikir panteis yang bernasib na’as karena pemikirannya. Ia dibakar
karena dianggap dapat menggoyahkan ajaran religiusitas gereja abad pertengahan.
Tidak hanya Bruno, pemikir panties dalam Islam juga mengalami mengalami nasib
yang sama, di Bagdad ada al-Ḥallaj, dan di Jawa
sendiri ada Syekh Siti Jenar.
Berbeda dengan
Spinoza, panteis yang dibawa oleh Bruno didefinisikan sebagai panteis moderat.
Jika Spinoza mengatakan Deus sive Natura
(Allah atau alam) adalah kenyataan tunggal, Bruno tidak. Bagi dia, tidak begitu saja antara Allah dan alam dapat disamakan.
Ke-moderat’an Bruno tidak hanya pada pandangan panteisme yang tidak ekstrim, tapi juga cara
pandangnya dalam melihat dunia. Dalam hal ini, ia mengadopsi pemikiran
Aristoteles dan juga Copernicus. Akan tetapi, ia tidak semata-mata menerima
semua pandangan dua tokoh tersebut, ada yang ditolak dan ada yang diterima.
Perpaduan tersebut dapat dilihat dalam bukunya De la causa dan pandangannya mengenai manifestasi Allah.
Dalam De la causa, ia tidak sependapat dengan
Aristoteles yang mengatakan bahwa dunia ini satu dan ada causa prima (penyebab utama) yang menghasilkan alam semesta, dan
penyebab itu tidak terdapat pada ciptaannya. Selain itu, Aristoteles juga
berpendapat bahwa bumi merupakan pusat alam semesta.
Pandangan di atas jelas ditolak oleh Bruno. Ia mengatakan, jika ada causa prima di luar (tidak menyatu dengan) alam semesta sulit untuk
diterima. Ia juga sependapat dengan Copernicus yang menolak kalau bumi
merupakan pusat alam semesta. Hal ini dikarenakan bahwa bumi sendiri tidak jauh berbeda dengan
planet yang lainnya, sehingga terdapat kejanggalan jika bumi menjadi pusat
alam semesta.
Meskipun Bruno sependapat
dengan Copernicus, tapi ia menolak pernyataan Copernicus yang mengatakan kalau alam semesta terbatas.
Bagi Bruno, alam semesta tidaklah terbatas.
Meskipun di awal menolak pada
Aristoteles, di sisi lain Bruno secara implisit menerima causa prima. Kepercayaan
tersebut dapat dilihat dari anggapan Bruno mengenai dua manifestasi Allah. Manifestasi yang pertama adalah Natura naturans, yaitu penyebab
penciptaan. Dan yang kedua adalah Natura
naturata, yaitu akibat dari penciptaan. Jelas kedua manifestasi tersebut
juga merupakan konsep causa prima.
Mengenai causa prima-nya Aristoteles, Bruno hanya
menolak di wilayah bahwa causa prima
tidak terdapat pada akibat penciptaannya. Baginya causa prima juga terdapat
dalam diri ciptaannya. Dikarenakan alam semesta merupakan emanasi dari Allah, tapi
bagi Bruno tidak serta-merta alam semesta bisa disamakan dengan Allah. Disini
terlihat bahwa panteis yang dibawa oleh Bruno merupakan panteisme moderat.
Pemikiran panteis
sebenarnya tidak hanya ada pada tradisi Barat saja, jauh-jauh hari di dunia Timur
sudah mengenalnya. Dalam dunia timur, tradisi panteis dibawa oleh Islam pada abad
ke 10, tokohnya adalah al-Ḥallaj. Istilah
panteis dalam pandangan al-Ḥallaj disebut ḥulūl.
Ḥulūl sendiri merupakan
penyatuan antara jiwa manusia dengan jiwa tuhan.
Bagi al-Ḥallaj, di dalam diri manusia terdapat dua unsur, diantaranya
adalah nasūt dan lahūt. Nasūt mengejawantahkan
menjadi tubuh manusia, dan lahūt
memformulasikan sebagai roh (spirit). Begitupula dalam diri tuhan, dalam diri tuhan juga ada unsur nasūt dan lahūt. Nasūt dalam diri tuhan berupa spiritual dan unsur lahūt dalam bentuk zat-Nya.
Arti dari penjelasan di atas adalah manusia dan tuhan mempunyai unsur yang sama yaitu nasūt dan lahūt. Maksudnya, awal mula manusia berasal dari unsur immaterial. Hanya saja mereka terpisah dari asalnya karena
tertutupi oleh unsur material di bumi. Jika manusia ingin menyatu dengan asal
terciptanya, maka seorang manusia harus melakukan riyāḍah dīnīyah untuk bisa kembali ke asal kejadiannya.
Di sini, yang
membedakan antara panteisme Barat dan Timur -mungkin lebih tepatnya Bruno dan al-Ḥallaj- terletak pada tataran cabang pengetahuan. Jika Bruno berhenti pada tataran epistemologis, al-Ḥallaj sampai meranjak ke aksiologis. Dalam hal ini al-Ḥallaj sering mengalami sukr dan
mengatakan “Anā al-Ḥaqq”.
Kedua panteis ini
juga bernasib yang sama, yaitu tersiksa di akhir hayatnya. Kedua nasib ini tidak lepas dari warna politik di zamannya. Bruno dibakar, karena pada waktu itu ia dianggap menggoyahkan ajaran religiusitas abad
pertengahan yang mencengkram kaumnya. Di akhir hayatnya ia berkata "Kalian yang menghukum saya akan mengalami ketakutan yang lebih besar daripada yang saya alami".
Al-Ḥallaj juga demikian, di akhir hayatnya ia kehilangan dua tangan dan kakinya, lalu baru kepalanya. Alasan utama dalam penghukuman tersebut bukanlah ajarannya. Hanya saja ajarannya dijadikan alibi oleh penguasa. Hal ini dikarenakan aktivitas khotbahnya yang berisi ibadah, keadilan, amanah, serta amar maʻruf nahy munkar dianggap menggoyahkan kepemimpinan Kholifah pada masa itu.
Al-Ḥallaj juga demikian, di akhir hayatnya ia kehilangan dua tangan dan kakinya, lalu baru kepalanya. Alasan utama dalam penghukuman tersebut bukanlah ajarannya. Hanya saja ajarannya dijadikan alibi oleh penguasa. Hal ini dikarenakan aktivitas khotbahnya yang berisi ibadah, keadilan, amanah, serta amar maʻruf nahy munkar dianggap menggoyahkan kepemimpinan Kholifah pada masa itu.
*Tulisan ini merupakan sedikit review dari hasil diskusi.
0 Komentar