Oleh:
Maulidya Rohmatul Umamah
Penghormatan terhadap hak asasi manusia sudah menjadi bagian dalam pikiran bangsa Indonesia. Berbagai kalangan mulai dari kaum buruh, mahasiswa sampai sekelas aparat negara mulai merintis aktivitas yang berkaitan dengan isu-isu hak asasi manusia; diskusi, seminar, pelatihan, demonstrasi, membantu mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia, bahkan sampai merekomendasikan perbaikan berkaitan dengan hak asasi manusia yang dirasa kurang tepat. Singkatnya, sudah banyak masyarakat yang melek terhadap wacana perlindungan hak asasi manusia.
Pertanyaan penulis adalah, dengan wacana yang sebegitu luasnya mengapa masih ada pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia? Banyak pelanggaran serius hak-hak asasi manusia seperti yang terkadang berlangsung di markas-markas kepolisian, dan secara lokal di Aceh atau Papua, misalnya. Pelanggaran serius ini termasuk diberlakukannya hukuman fisik hingga hukuman mati (death penalty). Bahkan dari serangkaian kasus sengketa lahan justru berefek kepada pelanggaran hak-hak manusia yang berat.
Termasuk pelanggaran kekerasan terhadap kaum LGBT. Kasus kekerasan yang menimpa mereka seringkali diabaikan. Bentuk kekerasan berupa tindakan stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan fisik. Tentunya pelanggaran tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan LGBT selanjutnya. Ironis, bukan?
Dari pihak pemerintah sendiri sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan kelompok LGBT ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan dominan masyarakat terhadap kelompok LGBT. Pemerintah mungkin khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan heteroseksual yang mendominasi pola pikir masyarakat. Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut.
Sebagai misal, kekerasan secara simbolik terjadi pada tingkatan menteri, anggota DPR, dan negara. Dalam konteks, negara ambil bagian dalam diskriminasi dan pembungkaman terhadap LGBT melalui UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, disebutkan bahwa lesbian dan homoseksual dianggap sebagai persenggamaan yang menyimpang.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 4 ayat (1) huruf a: “Yang dimaksud dengan ‘persenggamaan yang menyimpang’ antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian dan homoseksual.” Meski tidak eksplisit UU ini menyatakan bahwa aktivitas homoseksual dilarang dan secara tersirat UU ini mengharuskan “Semua warga negara adalah heteroseksual”.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan ini hanya menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang heteroseksual.
UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006. Kedua peraturan itu hanya mengakui identitas transseksual (waria yang telah berhasil melakukan upaya perubahan kelamin) yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan transgender (waria yang belum, sedang atau tidak melakukan upaya perubahan kelamin).
Tameng Nasional dan Internasional untuk Kaum LGBT
Di tingkat internasional, kelompok LGBT sudah lama dikeluarkan dari kategori penyandang cacat mental. Pada 1973, Asosiasi Psikiater Amerika telah menyetujui pentingnya metode penelitian baru yang dirancang lebih baik dan menghapuskan homoseksualitas dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional. Kemudian, pada 1975, Asosiasi Psikolog Amerika mengeluarkan resolusi yang mendukung penghapusan kategori penyandang cacat mental tersebut. Selama 25 tahun terakhir, dua asosiasi ini mendesak ahli-ahli jiwa di dunia untuk ikut membantu menghilangkan stigma “penyandang cacat mental” terhadap kelompok LGBT. Desakan itu akhirnya juga sampai ke ahli-ahli jiwa Indonesia; Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) sudah tidak lagi menyebutkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa.
Pada 26-29 Juli 2006 diadakan sebuah Konferensi Internasional tentang Hak-Hak LGBT di Montreal, Kanada. Konferensi ini diakhiri dengan pembacaan Deklarasi Montreal oleh seorang petenis lesbian kelas dunia, Martina Navratilova. Deklarasi Montreal ini merupakan langkah awal yang dihasilkan oleh para pejuang hak-hak LGBT di dunia, dimana untuk pertama kalinya terminologi LGBT digunakan di dalam sebuah deklarasi Internasional. Walaupun bukan merupakan dokumen resmi PBB ataupun produk hukum resmi Internasional, namun ada beberapa hal penting yang diatur di dalam deklarasi Montreal ini, yaitu desakan kepada Negara-negara di dunia untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi hak-hak LGBT serta desakan agar semua Negara dan PBB mengakui dan mempromosikan tanggal 17 Mei setiap tahunnya sebagai Hari Internasional Melawan Homophobia dan Transphobia (IDAHOT/International Day against Homophobia and Transphobia).
Walaupun LGBT belum diakui sebagai kelompok sosial di tingkat Internasional, namun Deklarasi Montreal dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran bagi negara-negara dan PBB di dunia untuk segera melakukan affirmative action untuk mengakui keberadaan kelompok LGBT. Salah satu affirmative action yang dapat dilakukan adalah merumuskan suatu produk hukum khusus yang mengatur tentang pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak LGBT.
Seksualitas Foucault
Penelitian Foucault tentang seksualitas mengungkap bahwa seksualitas menjadi dasar dari pengendalian relasi kuasa. Dalam penelitiannya, Foucault curiga bahwa kekuasaan bertindak sebagai otoritas yang dianggap mampu menguasai individu melalui kenikmatan intim.
Analisis sejarah seksualitas yang telah dilakukan Foucault mampu merekonstruksi kembali bagaimana sejarah lembaga-lembaga yang terlibat dalam memproduksi kebenaran dan perubahan- perubahan yang berlangsung di dalam lembaga-lembaga tersebut. Sehingga setiap orang yang berbicara tentang seks -dari tempat dan sudut pandangnya- akan senantiasa menunjukkan seberapa jauh kepentingannya terlibat dalam masalah tersebut. Oleh sebab itu, tidak aneh jika pemikiran Foucault berhasil mengungkapkan bahwa setiap institusi memiliki kepentingan tertentu untuk mengatur masalah seksualitas masyarakat. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan relasi kekuasan vis a vis pengetahuan, Foucault mengungkapkan empat poin penting hasil analisanya terhadap sejarah seksualitas:
Histerisasi tubuh perempuan menunjukkan bahwa tubuh dikaitkan dengan tubuh sosial untuk menjamin kesuburan, dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga, termasuk kehidupan anak. Oleh karena itu, tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab biologis dan moral.
Pedagogisasi seks anak bertujuan agar anak jangan sampai jatuh dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual pada anak mengandung bahaya fisik dan moral, serta dampak kolektif maupun individual. Pedagogisasi ini juga ditujukan untuk melawan onanisme.
Sosialisasi perilaku prokreatif dimaksudkan untuk kesuburan pasangan, sosialisasi politik dilaksanakan melalui tanggung jawab pasangan terhadap tubuh sosial, dan sosialisasi medik termasuk praktik kontrol kelahiran atau KB. Psikiatrisasi kenikmatan menyimpang. Usaha ini bertujuan agar naluri seks diisolasi untuk diperlakukan sebagai naluri biologis dan psikis yang otonom. Maka ketika berhadapan dengan anomali dalam perilaku seks, jawabannya ialah penerapan normalisasi dan patologisasi perilaku. Untuk tujuan ini dibutuhkan teknologi normalisasi. Maka dalam hal ini dokter, psikiatri, psikolog bahkan teolog merasa ikut berkepentingan memakai teknologi normalisasi itu.
Pada abad ke 18 karena dorongan politik dan ekonomi, masalah seksualitas dikaitkan dengan
aspek moral dan rasionalitas yang bersinggungan dengan ranah kekuasaan publik. Sejak itu pula
masalah seksual menjadi urusan negara yang diatur oleh polisi. Realitas sejarah ini menunjukan bahwa pengaturan seksualitas melalui wacana sangat efektif untuk meredam gejolak publik. Dalam perkembangan selanjutnya, seksualitas senantiasa dikaitkan dengan penduduk, kekayaan, tenaga kerja, kemampuan kerja, keseimbangan antara pertumbuhan, dan sumber daya. Tidak hanya itu, ia juga sering dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti natalitas, kelangsungan hidup, tingkat kesuburan, kesehatan, penyakit, makanan dan tempat tinggal.
Bagi Foucault, seksualitas selayaknya dijadikan sebagai tempat membeberkan hasrat sekaligus sebagai penyingkapan kebenaran subjek. Seksualitas bukan semata-mata pertaruhan tubuh dan intensitas kenikmatan, tetapi ia juga harus menjadi scientia sexualis. Karena objektifitas subjek ada pada kalimat: “Katakan bagaimana dan siapa yang kau inginkan, dan saya bisa mengatakan siapa kamu”. Kodifikasi hukum sampai abad ke-18 hanya menjamin dan melegalkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan (suami-istri) yang menikah. Larangan-larangan muncul bagi aktivitas seksual di luar nikah, dan terus merambah kepada bentuk aktivitas seksual lain seperti zoophile, sodomi, necrophilia atau LGBT. Semuanya tidak bisa diterima dan dianggap sebagai penyimpangan dan harus dihukum karena melanggar ketentuan. Dalam konteks inilah masalah seksualitas merangkak naik menjadi masalah hukum.
Poin penting yang ingin disampaikan Foucault adalah, selama ini wacana seksualitas kita terjebak di dalam bentuk normalitas, dan kita seharusnya menggugat hal ini. Normalitas adalah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Kekerdilan kata normalitas dalam wacana seksualitas menjadi pemicu prasangka dan kekerasan. Dengan kata itu juga pikiran seseorang menjadi terjebak pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Relasi heteroseksual dianggap relasi yang pantas, tepat, benar dan normal. Sementara itu, itu relasi gay atau homoseksual dianggap relasi yang janggal, salah, menyimpang dan abnormal. Pada ranah praktis hal ini menimbulkan diskriminasi. Mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda dianggap menyimpang, memiliki kelainan jiwa dan harus disembuhkan, atau disadarkan. Lebih parah lagi dimarginalkan.
0 Komentar