Oleh: Isnan Elsam Muhammad*
![]() |
Kader Gagal, Akhirnya Menjadi Filsuf |
Hal ini, menunjukkan bahwa kader PMII memang begitu
kompleks, dan tidak bisa digeneralisasikan. Inilah yang kemudian menjadi salah
satu penyebab satu konsep tak cukup untuk diterapkan di semua lini. Karena
setiap persoalan yang komplek, juga harus diselesaikan dengan jawaban yang
komplek pula.
Mengingat hal yang semacam itu, mau tidak mau PMII harus
membuat konsep kaderisasi yang lentur sesui dengan iklim budaya di setiap
lokasi. Selain itu, konsep kaderisasi ini harus lentur menyesuaikan situasi
waktu.
Untuk membuktikannya, coba kita menilik kebelakang-namun
bukan berarti konservatif, pada tahun 70an dengan 90an kondisinya memiliki
nuansa Berbeda. Maka pola pengkaderan yang diterapkan juga harus berbeda.
Begitupun PMII yang ada di Jawa Barat dengan yang ada di Jawa Timur, juga
memiliki iklim yang berbeda. Maka perlulah kiranya menyesuaikan konsep
kaderisasi itu sesuai dengan situasi dan kondisi.
Lebih jauh lagi, jika kita menilik ke tatanan struktural
paling bawah, kita akan melihat berbagai macam otak manusia, berada di satu
wadah yang sama, yaitu PMII. Mereka adalah manusia yang memiliki pola pikir,
bakat, dan minat yang berbeda semua. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana bisa
PMII mewadahi itu semua? Karena PMII adalah sebuah wadah dan tempat berproses,
maka PMII harus bisa mewadahi, dan mengakomodirnya.
Jawabannya adalah Pengkaderan Berbasis Realitas.
Maksudnya adalah pola atau konsep Pengkaderan yang didasarkan pada realitas
waktu dan tempat. Bukan konsep kaderisasi yang kaku. Memaksakan kader tanpa ada
penelitian yang real pada saat tertentu dan pada kader tertentu.
Dalam hal ini, kemungkinan bisa berjalan sesuai harapan
bila melalui tahapan-tahapan yang terarah dengan baik. Tahapan tersebut secara
ringkas akan saya uraikan dibawah ini:
1.
Tahap Pendekatan Persuasif
Pada tahap awal ini, dimulai setelah MAPABA (Masa
Penerimaan Aggota Baru). Pengurus Rayon dan Pengurus Komisariat melakukan
pendekatan persuasif kepada anggota baru yang telah mengikuti MAPABA. Hal ini
menjadi penting dilakukan karena untuk mengetahui secara rinci mengenai data fisik
dan psikologi masing-masing anggota baru.
Namun, yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah
harus ada hasil tertulis. Serupa dengan hasil sensus penduduk yang dilakukan
oleh pemerintah. Dalam tahap ini, pengurus memang benar-benar harus menjadi
peneliti yang bisa menilai dan mendefinisikan kader, dan kemudian membuat
laporan hasil penelitian.
Tahapan ini bisa dilakukan selama satu sampai dua bulan,
bisa bebarengan dengan follow up MAPABA. Jika tahapan ini tidak
terlaksana dengan baik, maka pengurus akan sangat sulit untuk dapat menjalankan
tahapan yang kedua.
2.
Tahap Pemetaan dan Klasifikasi Kader
Dari data yang diperoleh hasil persuasif tadi, maka
kemudian langkah selanjutnya adalah tahap pemetaan. Data yang sudah berbentuk
laporan tadi kemudian dikelompok-kelompokkan berdasarkan kesamaan domisili,
minat, bakat, alamat asal, dan seterusnya.
Hal ini berfungsi agar seluruh anggota terakomodir dan
terurus dengan baik. Selain itu, pembagian pengurus untuk mengontrol jalannya
pengkaderan pada tahap ini harus dipilih sesuai dengan klasifikasi yang telah
dibentuk. Untuk itu, maka dibutuhkan pengurus yang kompeten di bidang
masing-masing. Selanjutnya untuk keberlangsungan dalam pendampingan ini, maka
tahap selanjutnya adalah pembentukan dan pendampingan Study Club.
3.
Tahap Penbentukan dan pendampingan Study Clup
Pada tahap ini, pengurus yang telah dibagi dalam
kategori-kategori di tahap ke dua tadi mengumpulkan anggota yang menjadi ruang
lingkup pendampingannya. Di forum yang semacam inilah, kemudian menentukan
langkah yang akan diambil dalam perjalanan selanjutnya sesuai dengan
klasifikasi di atas.
Setelah, perkumpulan tadi mendapatkan kesepakatan sebagai
jalan bersama, maka pengurus yang bertanggungjawab tadi harus melakukan
pengawalan dan pendampingan dengan intens. Inilah yang kemudian disebut
dengan Study Club. Tahap ini bisa dilaksanakan satu sampai dua bulan setelah
terbentuknya kelompok belajar. Fase ini membutuhkan kontrol ekstra agar anggota
tidak gugur di tengah perjalanan. Komunikasi penuh ke personal harus dijaga
dengan baik, supaya keyolalitas mereka terhadap PMII terbangun.
4.
Tahap Penguatan
Tahap penguatan ini merupakan tahap lanjutan dari tahap
sebelumnya. Maksudnya adalah dalam rangka memperkaya pengalaman untuk
berorganisasi memperdalam hasanah ilmu pengetahuan. Dimulai dengan menjadikan
mereka (anggota) sebagai kepanitiaan dalam acara-acara.
Selain itu, untuk memperdalam khasanah ilmu pengetahuan,
mereka dimantapkan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan dan forum ilmiah. Juga
menperdalamnya kembali dalam forum diskusi yang mereka buat, dan pengurus
memfasilitasinya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pada fase ini anggota
difokuskan pada Keorganisasian, Kajian, Profesionalitas, dan Kreatifitas. Dengan
alasan bahwa keempat hal itu lah yang menjadi elemen paling penting dalam organisasi
apapun. Maka, sangat perlu kiranya memantapkannya pada anggota sebelum mereka
menjadi pengurus, baik di tataran Rayon ataupun Komisariat nantinya.
Pola kaderisasi semacam ini memang bukanlah kosep
kaderisasi yang paling sempurna. Kesuksesannya hanya pada taraf probabilitas,
bukan niscaya. Juga harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Namun,
setidaknya bisa menjadi kontrol penopang kaderisasi dengan memaksimalkan fungsi
manajemen organisasi sebagai basis utama (Planning, Organizing, Actualing,
Controling, dan Evaluating), dari pada kaderisasi yang "ngawur" dan
tanpa kosep.
* Adalah Kader gagal PMII Tribakti
0 Komentar