By:
Tonk-Q El-Tuerto*
anusia
sebagai sebuah realitas tidaklah pernah ada, keberadaannya hanyalah mengada-ngada sejauh kebutuhan sosial
menyepakati keberadaannya untuk keperluan sehari-hari seperti komunikasi,
transaksi dan berdialog. Namun, ditinjau dari realita yang utuh dan kokoh, ia
(manusia) tidak pernah ada. Ia hanya ilusi, rapuh dan terbatas. Seolah-olah
ada, kuat, dan luas, namun sebenarnya tidak.
Dibalik term manusia ada tradisi pemikiran yang telah berkembang lama,
terutama di Eropa dan Timur Tengah. Yakni manusia dianggap sebagai mahluk
istimewa melebihi mahkuk lainnya, sehingga punya hak untuk menguasi mahluk
selainnya baik dari alam fisik maupun dari metafisik seperti tanah, gunung,
pohon, ikan, minyak bumi, hasrat, persepsi, surga dan neraka. Tentunya ada
konflik dan kepentingan yang harus dicermati secara kritis.
Namun banyak peradaban lain yang berbeda
pendapat. MANUSIA dilihat sebagai bagian dari alam, tidak lebih tinggi juga
tidak lebih rendah, ia adalah bagian dari keselirihan yang disebut sebagai
semesta (universum). Sudut pandang ini agaknya lebih ramah sehingga lebih mudah
diterima.
Lebih dari itu, berbagai penelitian ilmiyah
baru menegaskan, bahwa manusia tidak memiliki inti didalamnya. Tidak ada
“tuan” atau “aku” yang menjadi penentu keputusan. Tidak ada subyek pengendali
dari gerak pikiran dan tubuh. Konsep “jati diri” lebih merupakan ilusi untuk
kepentingan hidup bukan kenyataan yang utuh dan kokoh. Pandangan ini ditopang
oleh kebijaksanaan filusuf timur yang sudah berkembang lebih dari 10.000 tahun
yang lalu. Menurut mereka manusia adalah semata kumpulan dari berbagai
unsur yang saling terhubung. Ketika salah satu dari unsur rusak maka unsur yang
lainnya terganggu bahkan semua.
Unsur-unsur pembentuk itu yang pertama
adalah unsur paling dasar terdiri dari panca indra yakni mata, telinga, hidung,
kulit dan lidah. Dengan panca indra ini, manusia terhubung ke dunia dan
seisinya. sebagai alat komunikatif secara alamiyah, Manusia bisa melihat,
mendengar, mencium, meraba dan lain sebagainya. Namun, kelima panca indra ini
amatlah rapuh. Sedikit ada gangguan seperti luka, akan mengaburkan fungsinya.
Karena itu informasi yang bersumber darinya tidak bisa dipercaya begitu saja. Yang
ke-dua adalah Unsur tubuh. Tubuh memiliki kesadarannya sendiri. Ia
menjalankan fungsinya secara mekanik dan alamiyah seperti jantung berdetak,
paru-paru bergerak, darah mengalir bahkan setiap saat sel-sel hancur dan memperbaharui
tanpa ada kontroling dan yang memerintahinya.
Selanjutnya (yang ke-tiga) ialah Unsur
pikiran. Yakni unsur yang memungkinkan manusia merumuskan konsep-konsep
didalamnya. Misalnya konsep meja dan kursi. Walau ada banyak bentuk yang
berbeda dari meja dan kursi namun manusia bisa mengenalinya bahwa benda yang
seperti itu namanya meja dan kursi sebab ada konsep piring dalam pikiran. Yang
ke-empat adalah Unsur penilaian. Dengan unsur ini manusia bisa
mempertimbangkan mana yang baik dan buruk, boleh dilakukan dan tidak boleh,
maju atau mundur, mendekat atau menjauh, meluas atau menyempit.
Semua itu karena Demi alasan ketertiban dan
moral. Kita mematuhi aturan lalu lintas, dengan alasan mengankat martabat
kemanusiaan dimata umum. Kita mengenyam pendidikan formal dan non formal, atas
dasar kecantikan fisik dan keelokan budinya. Kita maju dan mendekat untuk
mendapatkannya. Unsur ke-lima adalah ingatan. Dengannya. Manusia bisa
belajar untuk menjadi lebih baik dan menjauhi hal yang buruk, mengumpulkan
informasi lalu menggunakannya untuk memenuhi kepentingan personal maupun
kolektif, menyalurkannya kepada orang lain dan mewariskannya. Namun, Ingatan
juga bisa menjadi perusak ketika tidak terkendali, terutama ingatan tentang
peristiwa buruk yang pernah kita alami, kemurungan bahkan depresi menjadi
konsekuensi, kekejamannya melebihi dari
predator kala mengingat hal yang menyakitkan bagi dirinya.
Keseluruhan unsur ini bersifat rapuh, semuanya
cepat berubah bahkan perubahannya lebih cepat dari air mendidih, dan mudah
sekali terganggu ketika terjadi trauma dan luka. Kesadaran konseptual, penilaian, ingatan, tubuh dan
panca indra menjadi tidak maksimal dalam menjalankan fungsi dan segala apa yg
berkaitan dengannya. Ketika orang mengira kelima unsur ini sebagai kebenaran
yang kuat dan kokoh, maka ia jatuh pada sistem pola pikir yang salah. Kesalahan
berpikir lalu membuahkan penderitaan baik bagi diri sendiri maupun diluar
dirinya.
Ada satu unsur lagi yang menjadi dasar dan
pencipta bagi semua unsur lainnya. Unsur ini sebenarnya tidak memiliki nama, ia
tidak memiliki bentuk, ia tidak bergantung dan terikat, ia berdiri sendiri
secara otonom, ia amat sukar diidentifikasi dengan cara apapun, ia menembus nalar
idealis dan realistis, ia berbeda dari selainnya, ia dipersonifikasi seperti
ruang yang jernih, bersih, menampung segalanyak, berasal darinya serta akan
kembali kepadanya tanpa merusak dirinya
sendiri. Ada yang menamainya sebagai Roh absolute (versi Hegel), jiwa semesta (Atman),
kesadaran murni (Immanuel Kant) dan ada juga yang menamai sebagai akal pertama
sebagai penggerak yang tidak bergerak. Dalam tradisi agama menyebutnya sebagai
“Tuhan”.
Ketika manusia berpegangan pada unsur Tuhan maka manusia
memasuki ruang kejernihan, kebebasan, keabadian dan kebijaksanaan. tidak
berlaku lagi istilah labelitas kehidupan, aku, kamu dan mereka, Yang ada dan
berlaku hanya unsur Tuhan.
Setelah itu, manusia menemukan
kebebasan, kedamaian, kejernihan serta kebijaksanaan sejati. Semua ada dan
bersemayam, segala pola pikir dan pola tindak manusia menjadi lebih
bersahaja, tidak meresahkan sekitar, saling mengerti dan tolong menolong tanpa
pamrih karena dasar kebijaksanaan itu.
Manusia
adalah entitas yang harus dilampaui, manusia tidak punya inti. Ia semata hanya
kumpulan dari berbagai unsur yang dengannya dinamai manusia, ketika unsur itu
terurai maka tidak ada inti didalamnya, tidak ada esensi. Setelah terurai apa
yang tersisa? Yang tersisa adalah kekosongan yang penuh dan kepenuhan yang
kosong. Dengan demikian, maka kejernihan dan kebijaksanaan akan kembali secara
alami. Melampaui manusia berarti kembali ketitik ini. Dengan-Nya kita bisa
hidup dalam keharmonian dengan seluruh alam. Tidak ada perbedaan antara kita dan
mahluk lain, semuanya sama.
Ket: * penulis
adalah Pengurus Bidang Nalar dan intelektual PMII tribakti
0 Komentar