By: Tyas Artma*
Gender, sebuah kata yang
sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Namun dalam
pemaknaannya selalu terjadi kekeliruan sehingga bisa dikatakan hal tersebut
merupakan salah satu penyebab timbulnya ketimpangan gender. Gender merupakan
sebuah konstruksi sosial sebagai alat atau konsep dalam perbedaan antara laki – laki dan perempuan
dari segi sosial.
Dimana perbedaan itu sifatnya tidak permanen, bukan kodrat,
maupun sebuah naluri. Perbedaan bentukan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal.
Terutama dalam nilai – nilai kehidupan. Seperti nilai-nilai agama, budaya,
suku, bahkan sistem negara sekalipun. Dan sekali lagi pengertian tentang gender
tidaklah mirip dengan pengertian sex, keduanya memiliki ranah makna yang berbeda. Lebih singkatnya perbedaan
sex dan gender terletak pada lokusnya, bahwa sex adalah bentuk perbedaan secara
biologis sedangkan gender adalah bentuk perbedaan secara sosial antara laki-laki
dan perempuan.
Aktivitas
gender berarti mengkonstruksi kehidupan dalam hal peran, perilaku antar
perempuan dan laki–laki. Konstruksi itu berupa nilai-nilai agama, kultural,
maupun sistem politik Negara. Semua ini berlangsung secara turun temurun, dan
menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Seseorang diklaim melanggar, dipandang rendah, dan
berakhlak tercela jika seandainya ia bersikap melenceng dari garis gender
tersebut.
Seiring melajunya zaman, hemegoni gender
yang berupa kemiringan atau ketidakadilan semakin menancap di mainstream masyarakat. Selama ini banyak
yang tidak sadar bahwa dibalik semua tersebut ada konstruksi yang tidak sejalan
dengan hakikat manusia di bumi ini, terlebih dalam hal perilaku perempuan. Perempuan
semakin terikat, tertekan, dan bahkan tertindas serta termarjinalkan. Ditambah dengan
kerancuan pemahaman masyarakat dalam membedakan antara gender dan sex. Sehingga
hal tersebut menjadi dasar politisasi masyarakat mempertahankan kemiringannya dalam
aktivitas gender. Tidak cukup hanya disitu, kemiringan dan ketimpangan gender
itupun tidak disadari oleh pihak perempuan sendiri, seolah berjalan di atas
pecahan kaca dengan kaki yang terbius, mereka tidak sadar bahwa pijakan hidup
mereka amat perih.
Kalaupun ada yang berteriak menyuarakan kepedihan hidup atas
ketidakadilan gender, hal tersebut sia-sia. Karena masyarakat telah terhegomoni
oleh bentukan itu sendiri. Terutama dalam hal agama. Perempuan akan
terstereotipe jika seandainya ia pulang larut malam tanpa mereka menyelediki
terlebih dahulu sebab musabab perempuan tersebut pulang larut malam.
Bisa jadi perempuan tersebut pulang dari bekerja atau ada sesuatu
yang mengharuskannya keluar dan pulang
larut malam. Selain itu kemiringan gender telah memberi zona tidak aman pada
perempuan, ia akan diliputi oleh rasa khawatir dan takut diganggu ketika ia
berada dijalan yang sudah larut malam karena orang-orang yang mengganggu
tersebut tidak paham akan hak hidup sesama manusia untuk tidak diganggu. Mereka
menganggap perempuan itu lemah dan rendah sehingga patut untuk diperlakukan
semena-mena.
Bukan hanya itu, Menganggap rendah pada
diri perempuan pun juga terjadi dalam lingkup keluarga, perempuan dianggap
tidak perlu untuk memperoleh hak berintelektual. Seoalah-olah kehidupannya
hanya di dapur, kasur, dan merawat anak.
Kemiringan
gender benar-benar telah mensubordinasi eksistensi perempuan diruang publik
sehingga keberadaan perempuan dianggap tidak penting. Perlunya kita meluruskan
atas kemiringan gender yang memihak satu sudut tersebut. Karena pada hakikatnya
perempuan dan laki-laki adalah sama-sama hamba tuhan yang diberi hak sama untuk
hidup bahagia tanpa penindasan dimuka bumi. Sebagaimana yang tercantum dalam
Q.S Al Baqarah, ayat 30 “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada
malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata
mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya
dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau? Dia berkata
: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Ayat tersebut menjelaskan akan hakikat manusia
sebagai khalifah yang harus bertanggung jawab untuk melindungi sesama. tanpa membedakan
perempuan atau laki-laki. Selain itu, diperlukan pula kesadaran pada diri
perempuan dan laki-laki untuk memahami perihal gender dan mengaktualisasikannya
di kehidupan masyarakat agar tidak ada lagi penindasan.
Ket: * Adalah Mahasiswa smtr I Prodi KPI yang lagi berproses di
PMII
1 Komentar
Mantap...
BalasHapusSalam pergerakan !!!