Oleh: M. Isnan*
Sudah tidak asing lagi di telinga para kader PMII tentang
paradigma. Tentu, karena paradigma merupakan sesuatu yang urgen bagi pergerakan
organisasi. Paradigma inilah yang menjadi identitas dalam membangun kontruksi
pemikiran dan cara memandang sebuah permasalahan. Paradigma ini pula yang akan
menentukan sikap dan prilaku organisasi. Organisasi yang tidak memiliki
paradigma tertentu, ia akan terombang-ambing dengan berbagai macam persoalannya
sendiri.
Tidak berlebihan jika ungkapan ini juga terjadi di dalam tubuh
organisasi PMII sekarang ini. Semenjak penghapusan Paradigma Kritis
Transformatif, PMII tidak pernah tahu kemana arah pergerakan organisasi ini. Berbagai
persoaalan pun berceceran, tidak pernah terselesaikan. Hal ini terjadi karena
PMII tidak lagi memiliki titik pijak untuk mengambil sikap. Lalu, sampai kapan
keterombang-ambingan ini menghantui tubuh PMII?
Keterombang-ambingan ini akan selalu terjadi selama PMII tidak
memiliki paradigma. Sampai sekarang, berbagai tawaran mengenai paradigma baru
mulai bermunculan. Dari paradigma moderat transformatif sampai paradigma taqwa transformatif. Entah paradigma apa
yang dipilih, pelaku organisasilah yang menentukan.
Kendati demikian, untuk menentukan suatu paradigma yang kokoh
tidaklah semudah seperti membalikkan telapak tangan. Perlu melalui perenungan
dan diskusi yang panjang. Begitupun sejarah paradigma kritis transformatif itu
lahir dan dijadikan sebagai paradigma PMII telah menuai pergulatan yang
panjang. Berbagai tokoh intelektual turut menghiasi semangat dalam pemikiran
paradigma ini.
Menurut hemat penulis, paradigma Kritis
Transformatif tetaplah layak digunakan sebagai paradigma pergerakan PMII. Ini
sesuai dengan semangat PMII untuk selalu membela kaum mustad’afin. Nah,
hal itu tercermin dalam ruh semangat kader ulil albab, yang selalu gandrung
dengan kekayaan intelektual.
Memakai paradigma kritis transformatif
bukan berarti rasisme terhadap tradisi modern. Namun dengan paradigm inilah
kader ulil albab bisa mengoreksi seluruh elemen sampai pada unsur-unsur
terkecil setiap permasalahan. Sehingga inovasi-inovasi baru akan timbul
menyertai dinamika kehidupan.
Tanpa pemikiran yang kritis, berbagai
ketimpagan dan ketidakadilan sosial akan mudah muncul dan menghegemoni ke
seluruh aspek sosial. Bukan berarti tidak pernah pro dengan status quo, namun
sikap kritis ini mencoba mencari otak dari semua ketimpangan ini, yang tidak
lain adalah status quo itu. Begitupun semangat yang dibangun oleh intelektual
kritis.
Namun, ada suatu hal yang terlupakan dari
semangat itu. Sebagus apapun cita-cita teori kritis tidak akan sukses jika
tidak direlisasikan. Ibarat ilmu yang tidak pernah diamalkan. Begitupun juga
teori ini, mungkin hanya menjadi sampah di otak para kader PMII.
Mengaca dari sejarah, selama Paradigma
Kritis Transformatif ini menjadi paradigm pergerakan PMII, teori ini hanya
menjadi idealisme yang diunggul-unggulkan. Inilah yang penulis asumsikan
sebagai akar kenaifan paradigm itu.
Selain itu, langkah sikap para kader PMII
selama ini sebagian besar hanya taklid buta atas wacana yang diberikan oleh
media, bahkan oleh yang mereka anggap sebagai senior, walaupun sebenarnya tidak
ada kata senior di dalam tubuh PMII. Ketaklidan inilah yang menyebabkan kader
tidak terlibat langsug dalam analisi dan penggodokan kasus dan wacana.
Celakaya, hal ini sudah menjadi tradisi
dalam kurun waktu yang lama. Lagi-lagi kader PMII terjebak dalam paradigma yang
diagung-agungkannya tanpa pernah memaksimalkan kemampuan seluruh kader untuk
berperan mengamalkannya dalam menganalisa dan membedah otak prolem yang mungkin
tidak tampak dipermukaan. Kalau saja tradisi itu dapat dihilangkan, sehingga
seluruh kader menjadi kritis atas problem-problem sosial.
Sikap kritis ini, selanjutnya dapat
dipergunakan seluruh kader untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan. Sekali
lagi, yang terpenting sebenarnya adalah merealisasikan Paradigma Kritis
Transformatif dengan menguasai berbagai teori dan semangatnya yang belum
sepenuhnya diamalkan. Bukan menghapus paradigma itu, dan menggantinya dengan
paradigma baru yang masih membutuhkan pengkajian ulang//.
* adalah koordinator Bidang I (nalar dan intelektual ) PMII Komisariat Tribakti
0 Komentar